Skip to main content
Boy Yendra Tamin

follow us

Penghulu (Datuk) Sebagai Pemimpin Kaum di Masyarakat Minangkabau

Oleh: Boy Yendra Tamin

Dalam masyarakat adat Minangkbau dikenal apa yang disebut dengan kaum (suku), dan setiap kaum itu dipimpin seorang penghulu (Datuk). Di zaman yang terus berubah dengan segala kemajuannya, keberadaan penghulu dalam masyarakat Minangkabau tetap eksis disamping pimpinan formal pemerintahan. Meskipun disadari dikalangan generasi muda Minangkabau banyak juga mereka tidak memahami –barangkali tidak tahu— bagaimana sebenarnya penghulu itu, apalagi mereka-mereka yang hidup diperantauan yang metropolis.

Dari sudut bahasa, kata penghulu memiliki banyak arti. Dalam konteksnya dengan keberadaan kaum di MInangkabau, maka penghulu itu dalam artian penghulu andiko, yakni pemimpin yang memerintah kaumnya dan lazim juga disebut “Datuk”, dimana penghulu adalah yang sebenar-benarnya memerintah (memimpin) kaumnya dalam nilai-nilai dunia dan akhirat.

Disamping itu penghulu di masyatakat Minangkabau dikelompokkan dalam beberapa kekeadaan, Pertama, penghulu yang dibangsokan kepada syarak yaitu orang memelihara kaumnnya pada dunia dan akhirat. Dan orang inilah yang dinamakan penghulu pada syarak, dan dalam hal ini si penghulu akan selalu menyuruh berbuat baik dan melarang dari berbuat mungkar (jahat). Kedua, Panghulu yang dibangsokan kepada Hindu sangsakerta, yaitu orang yang mengepalai akan barang-barang tiap-tiap sesuatu yang baik. Ketiga, penghulu yang dibangsokan kepada adat alam Minangkabau, yaitu orang diamba gadang, randah dianjuang tinggi , terjadinya dek mufakat. Dimano terjadinyo , tumbuah karano ditanam, Diluhak Nan Tigo, dilareh nan Duo.

Seorang penghulu dalam masyarakat Minagkabau sebenarnya bukanlah sembarang orang, tetapi adalah orang-orang pilihan. Untuk bisa diangkat sebagai seorang penghulu harus memenuhi beberapa kriteria dan persyaratan yang melekat pada diri orang bersangkutan. Artinya, syarat-syarat seorang penghulu itu tidak ditentukan oleh syarat-syarat sebagaimana adanya pada pemimpin formal (pemerintahan). Seseorang untuk diangkat menjadi penghulu untuk memimpin kaumnya harus terdapat beberapa sifat dan martabat seorang penghulu. Budi yang baik dan bicaranya yang halus merupakan sisi yang tidak bisa diabaikan dari sosok seseorang untuk bisa diangkat menjadi penghulu dikaumnya. Dalam hal ini sosok penghulu itu tergambar dari sifat dan martabat yang ada pada seorang penghulu.

Adapun martabat seorang penghulu di Minangkanau, yaitu: Pertama, berakal. Kedua, berilmu, berpaham, bermakkrifat ujud yakin, tawakal pada Allah. Ketiga, kaya dan miskin pada hati dan kebenaran. Kempat, murah dan mahal pada laku dan perangai yang berpatutan. Kempat, hemat dan cermat, mengenai awal dan akhir. Kelima, ingat dan jago pada adat. Keenam, sabar dan redho hatinya kepada kaum kerabatnya dalam menyampaikan siddig dan tabliq. Sabar artinya menanti. Redho artinya suka. Berani atas yang benar.

Dengan martabat seorang penghulu yang demikian, maka wajarlah apabila dalam masyarakat Minagkabau seorang penghulu sangat disegani dan dihormati, terutama oleh kaummnya. Dibalik martabat seorang penghulu itu terdapat pula sifat-sifat seorang penghulu, yakni. Pertama, kuat pendirian. Seorang penghulu tidak akan merobah yang benar menjadi salah. Kedua, kuat berbuat pada kebaikan. Ketiga, mempebaiki parak pagar nageri (memelihara negeri). Kempat, kuat menghasilkan pekerjaan negeri. Kelima, menyelesaikan benang kusut dalam nagari sama kepada anak buah, dan sama kepada handai tolan serta kaumnya. Disamping sifat tersebut, seorang penghulu harus memakai sifat yang empat, yakni: Pertama, sidiq. Artinya benar dan tidak merobah yang benar kepada yang salah. Kedua, Tablig. Seorang penghulu menyampaikan hukum syarak kepada seluruh rakyat atau kaum kerabatnya. Ketiga, Amanah. Seorang penghulu tidak menyembunyikan hukum syarak kepada yang sepatutnya. Kempat, Fathonah. Kesempurnaan cerdik seorang penghulu memelihara agama dan harta.dalam hubungan ini soal memelihara agama itu ada empat perkaranya, yakni; Iman, islam, Tauhid dan Makrifat.

Bahwa sifat-sifat seorang penghulu seperti dikemukakan di atas ditambah lagi sifat penghulu itu dengan cerdik, tahu dan pandai serta fasih lindahnya berkata-kata dengan lunak lembut yang menjadi kunci bagi hati segala manusia.

Dengan demikian, dari eksistensi, martabat serta sifat dari seorang penghulu dalam masyarakat adat Minangkabau seperti yang dikemukakan di atas, bisa dibayangkan betapa sejuknya kehidupan suatu kaum di Minangkabau dibawah kepemimpinan penghulunya. Artinya, seorang penghulu tidaklah seorang penguasa melainkan seorang pemimpin. Meskipun kemudian masih bisa diperdebatkan, adakah sosok ideal yang sempurna dan seratus persen dari seorang penghulu dengan martabat dan sifat penghulu yang demikian ? Mungkin, tetapi setidaknya nilai-nilai itu harus ada sekalipun terdapat sisi libih dan kurang, tetapi ukur dan jangkanya terhadap seseorang penghulu itu sudah ditetapkan. Kemudian yang kita lihat dalam keseharian dari martabat dan sifat penghulu itu adalah kadarnya. Apalagi dalam konteks ini seorang penghulu timbul dari mufakat dan ini yang kemudian membedakannya dengan pemimpin formal yang timbul dari suatu pemlihan dalam perebutan kekuasaan. Dalam masyarakat Minangkabau yang sejati, seorang penghulu memimpin kaumnya adalah kehendak kaumnnya dan ia jadi penghulu karena kehendak kaumnya. Seseorang tidak bisa menjadi penghulu karena kehedak dirinya.

Seorang penghulu yang sebenar-benarnya penghulu tumbuh dan berkembang dalam konteks fisolofi kepemimpinan dan bukan dalam konsteks kekuasaan. Seorang penghulu sebagai pemimpin bagi kaumnnya, menempatkan kekuasaan itu adalah menjadi urusan yang kesekian dan agaknya hanya penunjang bagi menjalankan amanah kepemimpinan yang dipikulnya. Karena kekuasaan bagi seorang penghulu lahir secara alamiah dan hal itu terpancar dari martabat dan sifat-sifat yang harus dimilikinya. Kewibawaan dan keseganan pada penghulu bukan karena dia punya kekuasaan, tetapi karena kepemimpinan penghulu itu terdapat kandungan martabat dan sifat yang ada dalam dirinya.

Karena itu mengakat seorang penghulu dalam masyarakat Minangkabau tidaklah semudah mengangkat atau memilih pemimpin formal yang temporer keberadaannya. Seorang penghulu akan memangku amanahnya sebagai seorang pemimpin kaumnya sepanjang hidup sipenghulu, sehingga kepemilikan sifat dan martabat pada diri seorang penghulu menjadi syarat yang penting ketimbang syarat-syarat sebagaimana adanya pada pemimpin formal. Kombinasi syarat antara penghulu itu jika kemudian ditambahi syarat sebagaimana adanya kepemimpinan formal, adalah baik dan hanya menyempurnakan tetapi tidak mutlak.

Apabila kepemimpina formal disuguhi sejumlah larangan-larangan dalam kepemimpinannya, hal itu tidak terkecuali dalam kepemimpinan seorang penghulu dalam masyarakat Minangkabau. Seorang penghulu di Minangkabau tidak boleh merusak keamanan dan kesentosaan, hilir melonjak mudik menggaduh (mengacau), kiri kanan memacah parang, mengusut alam yang selesai, penghambat kambing dek ulek, karena miskin pada budi, beruding bak sarasah terjun, karena terkabua (takabur) dalam hati, itu adalah penghulu nan cilako (celaka), alamat penghulu kan jahanam.

Selain berlarangan seorang penghulu juga berpantangan, yaitu ambatan yang dipaham tiap suatu dikehendaki mengubah zahir dan batin, meninggalkan sidiq dan tablig, memakai cabut sia-sia, katanya lalu lalang saja seperti membakar buluh sebab kakurangan di ilmu rundingnya seperti merendang kacang sebab lidahnya tak bertulang itu penghulu nan pambantah alamat kan pengalie (galir).

Memahami martabat, sifat, larangan dan pantangan seorang penghulu pada masyarakat Minangkabau itu, maka untuk menjadi seorang pemimpin dalam masyarakat Minangkabau sesungguhnya berat. Menjadi penghulu bukanlah senang, bahkan ketika seseorang mengiyakan dan disepakati, kemudian diangkat menjadi penghulu, maka seorang penghulu sepertinya tidak lagi memikirkan dirinya, tetapi hampir seluruh hidup dan kesehariannya hanyalah untuk kaum yang dipimpinnya. Ketika kedudukan sebagai penghulu itu dipikulnya, maka segala tanggung jawab terpikul sudah dan hampir-hampir tidak ada keluh kesah dan tiada tempat mengeluh baginya, karena penghulu sendiri adalah tepatan bagi kaumnya untuk berkeluh kesah dan menyampaikan segala masalahnya. Tak ada keluh kesah, silang sengketa dalam kaumnnya yang bisa dikesampingkan atau dibaikan seorang penghulu dan itu sesuai dengan sifat-sifat dan hakikat yang diterkandung dari jabatan penghulu.

Bahkan seorang penghulu pada masyarakat Minangkabau memiliki hutang, yakni: Pertama menurut alur yang lurus. Kedua, menempuh jalan yang pasar. Ketiga, mempunyai harto pusako. Keempat, memelihara anak kemenakan. Hutang penghulu yang terakhir ini “memelihara anak kemenakan” merupakan wujud dari tanggung jawab penghulu seperti tanggung jawab pemimpim formal kepada rakyat. Dalam hubungan memelihara anak kemenakan itu dipahami pula dalam enam hal; Pertama, wilayah, artinya hukum menghukum dalam kampung, perintah memerintah dalam nagari. Kedua, Hikayat. Atinya menceritakan hal yang buruk dan baik. Maksunya memberikan padangan pada anak kemenakan mana yang baik dan mana yang buruk. Ketiga, Nasehat, yaitu member pengajaran yang baik-baik kepada anak kemenakan. Keempat, Imanah. Artinya kepercayaan. Kelima, mendapatkan dengan akal budi anak kemenakan. Keenam, mengukur mengjangkau serta menghingga membataskan akan kemenakan.

Dengan segenap hal-hal yang melekat pada diri seorang penghulu sebagaimana dikemukakan di atas, tampaklah bahwa bagaimana nilai-nilai kepemimpinan itu hidup dan berkembang dalam mayarakat Minangkabau dan memperlihatkan suatu perbedaan yang mendasar dalam kepemimpinan formal. Suatu hal yang selalu ditanamkan atau diwariskan secara turun temurun dalam kepemimpinan penghulu pada masyarakat Minangkabau adalah suatu kesadaran, bahwa penghulu itu “tinggi diajuang, gadang dilambuak”. Penghulu-penghulu yang mengetahui eksistensinya dirinya sebagai penghulu yang demikian, maka penghulu akan menjadi seperti bunyi kata falsafah Minangkabau ”sebagai kayu gadang (besar) ditengah padang, tempat berteduh kehujanan, tempat berlindung kehujanan, batangnya tempat bersandar, uratnya tempat besela oleh masing-masing anak buahnya atau kaumnya.”

.

Oleh sebab itu, keberadaan penghulu pada masyarakat Minangkabau sungguhlah sangat sentral dan syarat dengan nilai bagi pencapaian kehidupan yang lebih baik dunia maupun akhirat kelak. Meskipun demikian, sejalan dengan perkembangan zaman dan pengaruh pola kehidupan modern boleh jadi terjadi pergeseran nilai-nilai kepemimpinan seorang penghulu didalam masyarakat Minangkabau. Tetapi apa yang sudah lama ditanamkan dalam nilai-nilai kepemimpinan penghulu di masyakat Minangkabau itu, justeru saat ini menjadi tuntutan kehidupan modern, dimana public suatu negara bangsa justeru mengindamkan seorang pemimpinan formal sebagaimana adanya kepemimpinan pada diri seorang penghulu pada masyarakat Minangkabau. Karena itu nilai-nilai kepemimpinan penghulu yang sudah dimiliki masyarakat Minangkabau haruslah dipelihara dan nilai-nilai kepemimpinan itu agaknya tidak anti modernitas, sebaliknya saling melengkapi tanpa kehilangan substansi dan hakikat kepemimpinan penghulu yang sebenar-benarnya penghulu. (***)  Bacaan:dari berbagai sumber.

Spesial Untuk Anda:

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar