Skip to main content
Boy Yendra Tamin

follow us

Pandangan Bung Hatta Dalam Penegakkan Supremasi Hukum

Oleh: Dr Boy Yendra Tamin, SH. MH

Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta dan Advokat

Selain dikenal memiliki pandangan dan pemikiran yang luas dalam bidang ekonomi dan politik, Bung Hatta memiliki pandangan yang dalan terhadap hukum. Pandangan Bung Hatta terhadap penegakkan suoremasi hukum. Pandangan Bung Hatta tersebut menjadi penting ketika UUD 1945 sudah dengan tegas menyatakan dirinya sebagai negara hukum.

1. Pendahuluan.

Pandangan Bung Hatta (Muhammad Hatta) tidaklah terbatas hanya dalam bidang politik, sejarah dan ekonomi saja. Bung Hatta di dalam membekali dirinya untuk tugas pengabdian kepada bangsa dan negara, banyak menggali bidang-bidang ilmu hukum serta mengemukakan persoalan-persoalan yang memerlukan pemecahan hukum. Namun, pemikiran beliau dalam bidang hukum amat jarang kita dalami. Mengapa ?

Sartono Kartodirdjo mengemukakan, bahwa Bung Hatta tergolong kategori social baru, yang dikenal sebagai kaum intelegensia. Seperti telah diketahui umum, kaum intelegensia inilah yang diluar dugaan Belanda muncul selaku protogonis pembaharuan pada umumnya dan dalam bidang politik khususnya. Merekalah yang meninggalkan tradisi kaum aristocrat dengan penolakkannya untuk memangku jabatan dalam pemerintahan kolonial. Dan berdasarkan pengetahuannya yang luas, merekalah yang dapat bersikap kritis terhadap situasi kehidupan masyarakat kolonial dengan segala system diskriminasi serta eksploitasinya, sehingga mereka dapat memperluas cakrawala intelektualnya dan mampu melihat ke depan. Namun seperti diutarakan tadi, bahwa belum semua pemikiran dan gagasan Bung Hatta kita dalami sebagaimana halnya dengan pemikiran beliau dibidang hukum. Bukankah, selain menekuni ilmu ekonomi di Handels Hooge Scool Roterdam, Bung Hatta juga mempelajari ilmu hukum.

Jika pemikiran Bung Hatta di bidang hukum tidak tampak menonjol dibanding bidang ekonomi dan politik, tidak berarti tak ada yang penting dari pemikiran Bung Hatta dalam bidang hukum, malah sebaliknya. Dan seperti diketahui, pada diri Bung Hatta dijumpai perpaduan antara kemampuan pengalaman ilmu sarjana dengan unsur-unsur homo-economicus dan homo-politicus yang mewarnai dan menyemarakkan dinamika seorang insan yang hidup bermasyarakat di dalam suatu organisasi yang kita namakan negara. Kemampuan atau lebih tepatnya kelebihan Bung Hatta yang demikian, menurut Padmo Wahjono nampak diterapkan pula kedalam bidang hukum, walaupun tidak dengan kata-kata yang lazim digunakan seorang sarjana hukum, melainkan dengan kata-kata, ulasan maupun uraian-uraian yang dapat dipahami oleh orang awam pada umumnya.

Apabila ditelaah lebih mendalam karya-karya Bung Hatta, maka jelas nampak bahwa pada sekitar tahun 1932, Bung Hatta telah merasakan, merenungkan dan memikirkan perlunya suatu sistem hukum yang lebih sesuai dengan kepentingan rakyat banyak. Dalam hubungan ini Padmo Wahjono mengemukakan, bahwa Bung Hatta dengan karya-karya tulisnya sebagai bukti, menggerakkan sarjana hukum dan setiap orang yang berusaha dengan segala daya dan upaya untuk berkecimpung dibidang hukum dan ilmu hukum untuk memikirkan dan merumuskan, Sistem Hukum Pancasila. Dan itu pula salah satu alasan Universitas Indonesia menganugerahkan gelar Doktor Kehormatan dalam ilmu hukum kepada Bung Hatta tahun 1975 yang lalu.

Dengan demikian tidaklah kita ragukan, bahwa pandangan Bung Hatta dibidang hukum sangat penting yang bukan saja karena posisi Bung Hatta sebagai salah seorang The Founding Fathers of the Republic, tetapi lebih dikarenakan karya Bung Hatta kaya akan materi –yang dengan istilah penjelasan resmi UUD 1945 disebut dengan istilah “geistlichen Hintergrund”. Oleh sebab itu, bila kita hendak meninjau pandangan Bung Hatta dalam penegakan Supremasi Hukum, maka jalan kearah itu adalah dengan mengungkapkan fungsionalitas hukum dalam pandangan Bung Hatta dan cita Bung Hatta mengenai negara hukum.

2.Hukum Dalam Pandangan Bung Hatta.

Bagi Bung Hatta, sebagai tanda Republik Indonesia adalah negara demokrasi yang berdasarkan kedaulatan rakyat, segala beban yang ditimpakan kepada rakyat, maupun beban harta dan keuangan atau beban darah harus berdasarkan undang-undang, persetujuan Presiden dan DPR. Hal ini menunjukkan bagaimana sikap Bung Hatta terhadap hukum dan sangkut pautnya dengan demokrasi yang berkedaulatan rakyat. Artinya, Negara Republik Indonesia tidak akan menjadi negara demokrasi yang berkedaulatan rakyat apabila segala beban yang ditimpakan kepada rakyat tidak berdasarkan undang-undang. Di sisi lain, undang-undang diposisikan Hatta sebagai salah satu bentuk hukum yang memungkinkan tersalurnya kedaulatan rakyat.

Makna kedaulatan rakyat bagi Bung Hatta sebagaimana ditulis pada kata pengantar majalah Daulat Ra’yat edisi pertama (Tahun I No.1, 20 September 1931) :

“…Daulat ra’jat akan mempertahankan asas kerakyatan yang sebenarnya dalam segala susunan: dalam politik, dalam perekonomian dan dalam pergaulan sosial. Bagi kita rakyat itu yang utama, rakyat umum yang mempunyai kedaulatan, kekuasaan (souvereiniteit), karena rakyat itu jantung hati bangsa. Dan rakyat itulah yang menjadi ukuran tinggi rendahnya derajat kita….”.

Selanjutnya Muhammad Hatta menulis dalam majalah Daulat Ra’jat No.12, 10 Januari 1932:

“ …kalau Indonesia mau mendapatkan pemerintahan yang berdasarkan demokrasi tidak boleh kita menoleh kebelakang. Kita harus melanjutkan “demokrasi asli “ menjadi kedaulatan rakyat, sepaya terdapat peraturan pemerintahan rakyat untuk Indonesia umumnya. Pendek kata: Daulat Tuanku mesti diganti dengan daulat rakyat. Tidak lagi seorang bangsawan, bukan pula seorang tuanku, melainkan rakyat sendiri yang raja atas dirinya….Sebab rakyat semuanya terlalu banyak dan tidak dapat menjalankan pemerintahan, maka pemerintahan negeri diatur cara perwakilan……”.

Kemudian dalam tulisan Ke Arah Indonesia Merdeka (1932), Muhammad Hatta mengemukakan;

“….Asas kerakyatan mengandung arti bahwa kedaulatan ada pada rakyat. Hukum (Recht, peraturan negeri) haruslah bersandar pada perasaan keadilan dan kebenaran yang hidup dalam hati nurani rakyat yang banyak, dan aturan penghidupan haruslah sempurna dan berbahagia bagi rakyat kalau ia berasaskan kedaulatan rakyat. Asas kedaulatan inilah yang menjadi sendi pengaturan oleh segala manusia yang beradap, bahwa tiap-tiap orang mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri…”.

Pandangan Bung Hatta mengenai kedaulatan rakyat di atas, bagi banyak orang lebih cenderung direspon dalam perspektif pandangan politik Hatta. Tetapi bila dicermati lebih dalam, kita akan menemukan eksistensi dan fungsionalitas hukum. Ini tentu saja tergantung pada bagaimana kita memberikan pemaknaan terhadap pemikiran Bung Hatta “Hukum (Recht, peraturan negeri) haruslah bersandar pada perasaan keadilan dan kebenaran yang hidup dalam hati nurani rakyat yang banyak, dan aturan penghidupan haruslah sempurna dan berbahagia bagi rakyat kalau ia berasaskan kedaulatan rakyat”.

Bagi kalangan hukum tidak asing lagi, bahwa dilihat dari fungsionalitas hukum, hukum merupakan pisau bermata dua. Disatu pihak hukum bisa menjadi hukum yang menindas (repressive laws), dan dilain pihak hukum bisa menjadi hukum yang bersifat membantu kearah perubahan (facilitative laws). Fungsionalitas hukum yang disebut terakhir ini dikenal pula dengan hukum sebagai alat perubahan sosial (agent of changes) atau a tool of social enggineering.

Bung Hatta mengemukakan, Hukum (Recht, peraturan negeri) haruslah bersandar pada perasaan keadilan dan kebenaran yang hidup dalam hati nurani rakyat yang banyak, dan aturan penghidupan haruslah sempurna dan berbahagia bagi rakyat kalau ia berasaskan kedaulatan rakyat. Hal ini mengingatkan kepada konsepsi Living Law-nya Eugen Ehrlich pemuka dari aliran ‘Sociological Jurisprudence”. Dalam konteks ini, konsepsi dasar dari pemikiran Ehrlich tentang hukum dan merupakan kunci bagi teorinya adalah apa yang dinamakan dengan Living Law. Hukum positif yang baik (dan karenanya efektif) adalah hukum yang sesuai dengan “Living Law” yang sebagai “inner order” dari pada masyarakat mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalamnya.

Bahwa hukum sebagai kaedah sosial tidak lepas dari nilai (values) yang berlaku di suatu masyarakat, bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu merupakan perncerminan dari pada nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat yang tentunya sesuai pula dengan atau merupakan perncerminan dari pada nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat itu. Dari sudut pandangan ini, pandangan Bung Hatta terhadap hukum agaknya berada dalam perspektif demikian. Dimana, Bung Hatta mengingkan sistem hukum yang sesuai untuk negara yang kita cita-citakan. Sistem hukum yang dapat menjadi wadah untuk menampung dan sekaligus suatu sarana untuk mengembangkan lebih lanjut, usaha-usaha untuk mencapai tujuan kita bernegara.

Meskipun ungkapan Bung Hatta tidak persis sama dengan rumusan konsepsi hukum Ehrlich atau konsepsi hukum yang digagas Muchtar Kusumaatmadja, tapi substansinya mendekati. Ini tentu jika direnungkan secara mendalam ulasan Bung Hatta dalam tulisan Ke Arah Indonesia Merdeka seperti dikutip di atas.

Dengan mensitir living law-nya Eugen Ehrlich bukanlah bermaksud untuk menegaskan, bahwa pandangan Bung Hatta terhadap hukum dipengaruhi konsepsi hukum Ehrlich, melainkan untuk memberi makna bagi pandangan Bung Hatta terhadap hukum. Apabila “pesan” dari “living law”-nya Eugen Ehrlich adalah, bahwa dalam membuat undang-undang hendaklah diperhatikan apa yang hidup dalam masyarakat. Kita pun menangkap “kesan” seperti itu dalam pemikiran hukum Bung Hatta.

Bung Hatta memang bukan penganut paham “legisme” yang kaku, yang menyamakan hukum dengan undang-undang dan menyangka bahwa segala perbuatan hukum dapat begitu saja dilakukan dengan undang-undang. Meskipun Bung Hatta mengajurkan segala beban yang ditimpakan kepada rakyat harus berdasarkan undang-undang, tetapi undang-undang yang dibentuk itu harus memperhatikan apa yang hidup dalam masyarakat atau yang menurut istilah Bung Hatta berdasarkan perasaan keadilan dan kebenaran yang hidup dalam masyarakat.

Meminjam pertanyaan Muchtar Kusumaatmadja, bagaimanakah kita mengetahui apakah suatu ketentuan hukum yang hendak ditetapkan itu sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat (atau “perasaan keadilan masyarakat”), dan siapakah yang dapat mengungkapkannya ? Sepanjang pengetahuan saya, kita tidak menemukan uraian Bung Hatta mengenai soal ini. Sungguh pun demikian untuk memperoleh suatu pemahaman, dapatlah diambilkan perkataan Bung Hatta, yaitu “” rakyat itu jantung hati bangsa. Dan rakyat itulah yang menjadi ukuran tinggi rendahnya derajat kita….”. Dengan ungkapan yang demikian, maka esensi dari hukum yang bersandar pada perasaan keadilan dan kebenaran yang hidup dalam hati nurani rakyat adalah hukum yang tidak menindas rakyat. Hal ini sejalan dengan pemikiran Bung Hatta mengenai negara hukum Indonesia, yakni negara hukum yang berdasarkan Pancasila.

Bung Hatta menginginkan hukum yang berdasarkan kedaulatan rakyat, berarti menginginkan hukum yang demokratis. Adapun ciri-ciri dari produk hukum yang demokratis; (1) produk hukum harus bersifat mengatur (2) produk hukum yang bernama undang-undang keatas dan peraturan daerah, penetapannya harus melibatkan rakyat setidak-tidaknya wakilnya. (3) dilihat dari segi isinya, isi produk hukum harus untuk kepentingan rakyat dan kepentingan umum. (5) dilihat dari segi pelaksanaannya harus untuk kepentingan umum dan kepentingan rakyat.

Demokratis atau tidak hukum tergantung pada sistem politik yang digunakan. Sistem politik otoriter atau non-demokratis melahirkan hukum-hukum yang cendrung ortodok/konservatif. Sedangkan sistem politik demokratis melahirkan hukum-hukum yang responsif/populistik. Adalah sulit untuk menempatkan hukum sebagai alat penegakkan demokrasi dan keadilan apabila bangunan dasar hukum represif, ortodok/konservatif. Bangunan hukum yang demikian, hukum cenderung dirasakan sebagai penindasan dan pelecehan terhadap hak-hak asasi warga negara. Hukum melembagakan disprivile dengan menekankan kewajiban dan tanggung jawab, bukan pada hak-hak yang dipunyai oleh golongan-golongan yang tidak berkuasa. Golongan miskin yang memiliki ketergantungan menjadi sasaran bekerjanya lembaga-lembaga atau birokrasi tertentu. Hukum represif mengorganisasi pengamanan sosial atas "klas-klas berbahaya" dengan mengkriminalisasikan perilaku-perilaku tertentu. Dalam keadaan sistem politik otoriter dengan outputnya hukum represif, maka jelas hukum lebih dirasakan sebagai penindasan dan legitimasi kekuasaan bagi penguasa (pemerintah).

Mencermati pandangan politik Bung Hatta dalam berbagai tulisannya, maka Bung Hatta menginginkan sistem politik yang demokratis. Dalam konteks ini, maka hukum dalam pandangan Bung Hatta adalah hukum responsif. Hukum lebih bertujuan agar lebih tanggap terhadap kebutuhan terbuka pada pengaruh dan lebih efektif dalam menanggapi masalah-masalah sosial. Kecenderungan pandangan Bung Hatta itu dapat dipahami dari keberpihakannya kepada rakyat. Dan bahkan dalam tulisan Bung Hatta Menunju Negara Hukum, kita mendapat kesan yang mendalam dari mengenai cita hukum yang diinginkan Bung Hatta.

Dalam kaitannya dengan hukum yang demokratis itu, jauh sebelum Indonesia merdeka Bung Hatta telah mengemukakan, bahwa demokrasi politik menjadi syarat bagi masyarakat yang berdasarkan keadilan dan kebenaran yang menyempurnakan cita-cita. Dan saya pikir, pandangan Bung Hatta terhadap demokrasi politik itu tidak terpisahkan dari pemikirannya terhadap hukum. Meskipun soal pengungkapan “perasaan keadilan yang hidup dalam masyarakat atau kesadaran hukum masyarakat” sebagai satu ciri dari produk hukum yang demokratis bukan semata-mata suatu proses perbuatan politik. Sebagaimana dikemukakan Bung Hatta, bahwa “semakin bertambah keinsyafan hukum dalam masyarakat, semakin dekat kita pada pelaksanaan negara hukum yang sempurna. Seimbang dengan perjuangan menyempurnakan negara hukum rasa tanggung jawab harus tertanam dalam jiwa. Rasa tanggung jawab itu pasti mempercepat tumbuhnya negara hukum. Sejalan dengan tumbuhnya negara hukum itu, akan berlaku apa yang ditulis oleh Prof.H.Krabe dalam bukunya yang tersohor “Die Lehre der Rechtssouveranitat (antara lain halaman 175, Leiden 1097). Kedaulatan hukum akan menggantikan kekuasan penguasa.

Dengan demikian, sebetulnya pandangan Bung Hatta dalam spektrum hukum yang demokratis itu, ternyata berada dalam kawasan yang lebih luas, yakni dalam perspektif negara hukum.

Meskipun Bung Hatta tidak berbicara panjang-lebar mengenai apa dan bagaimana hukum itu, apa dan bagaimana peranan dan fungsi hukum, tetapi sebagaimana dikemukakan Padmo Wahjono, bahwa suatu hal yang telah dikemukakan Bung Hatta, agar kita dapat menjelmakan hukum yang adil dan sesuai dengan keinginan rakyat di dalam bernegara Republik Indonesia.

Apa yang dikemukakan di atas, mungkin akan menimbulkan perdebatan, khususnya dikalangan hukum. Namun sebagai studi awal dan pembuka jalan bagi penyelidikan lebih lanjut yang lebin intens dan mendalam terhadap konsepi pemikiran hukum Bung Hatta, tidak ada salahnya. Di samping itu, sepanjang pengetahuan saya, tiada penyilidikan yang dilakukan kalangan hukum mengenai kecenderungan pandangan hukum Bung Hatta. Di waktu mendatang mungkin akan ada penyelidikan dan analisis lain yang memberikan penerangan yang lebih baik terhadap pemikiran Bung Hatta terhadap hukum.

3. Penegakkan Hukum Dalam Pandangan Bung Hatta.

Harian Kompas dalam tajuknya 1 September 1975 menulis, Bung Hatta adalah seorang manusia yang tertip. Tertib dalam hal kerja, tertib dalam soal waktu dan tertip dalam pergaulan hidupnya dan bahkan agak menjurus pada sikap yang “ascetic”. Tak usah heran, kalau ia menghendaki pula adanya tertib hukum dan tertib konstitusi. Salah satu faktor sengketanya dengan Bung Karno niscaya terletak pada pandangan hidupnya yang tak dapat menerima adanya tingkah laku politik yang dirasakannya melanggar tertip demokrasi.

Memahami pandangan Bung Hatta terhadap hukum seperti telah dikemukakan, maka pemikiran Bung Hatta tidaklah dalam ranah yang sempit, melainkan tidak terpisahkan dari citanya terhadap negara hukum. Sehingga jika dikatakan pengertian Bung Hatta terhadap apa yang dinamakan negara hukum tidaklah identik dengan Wettenstaat, cukup beralasan. Hukum-hukum harus dibuat oleh rakyat dan dirasakan adil oleh rakyat. Pelaksanaan dari hukum yang dibuat itu tidak hanya ditujukan ke bawah, tetapi juga ke atas. Wettenstaat lebih banyak menghendaki “law and order” (hukum dan ketertiban). Sedangkan Negara hukum yang dikehendaki Bung Hatta adalah negara hukum yang menghendaki pemerintah di bawah hukum (rule of law) , dimana keadilan dirasakan oleh seluruh rakyat.

Dalam kaitannya dengan penegakan hukum dan konstitusi, maka krisis nasional yang melanda Indonesia beberapa waktu lalu dengan segala akibatnya yang jauh lebih parah jika dibanding dengan apa yang dialami negara-negara lain merupakan pelajaran yang berharga bagi kita untuk memahami penegakan negara hukum Indonesia. Seperti dikemukakan Sunaryati Hartono, bahwa kemerdekaan dan persatuan bangsa, apalagi kemakmuran rakyat dan kesejahteraan kedaulatan negara terancam dan rasa keadilan rakyat semakin terluka, padahal inilah semua menjadi tujuan Proklamasi Kemerdekaan dan pembentukan negara Republik Indonesia menurut pembukaan UUD 1945. Kita tidak habis-habis bertanya, bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi, padahal kita sudah mengerahkan semua funds and forces selama 6 (enam) Pelita untuk pembangunan nasional yang nota bene bertitik berat pada bidang ekonomi ? Mengapa perekonomian Indonesia bisa ambruk dalam waktu yang sangat singkat, padahal sebelumnya keberhasilannya begitu dibangga-banggakan, antara lain dengan swasembada pangan, peningkatan indusrial, banyaknya sumber daya alam, dan sebagainya ?

Sejumlah kajian dan analisis dari berbagai kalangan mencoba mencari penyebab dari ambruknya perekonomian Indonesia itu, dan salah satu penyebabnya adalah karena aspek-aspek kehidupan berbagsa dan bernegara dan bermasyarakat, terutama dibidang hukum, sangat diabaikan. Kenyataan ini tentu paradok dengan eksistensi negara Indonsia sebagai negara hukum yang didasarkan atas prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan. Dimana hukum seyogianya senantiasa mengacu pada cita-cita masyarakat bangsa, yaitu tegaknya negara hukum yang demokratis dan berkeadilan sosial.

Krisis nasional yang melanda Indonesia itu mungkin tidak akan terjadi bila para elite negara yang berkuasa pada rezim Orde Baru tidak melupakan sejarah. Bukankah krisis demokrasi yang terjadi pada masa Demokrasi Terpimpinnya Bung Karno tidak dapat dilepaskan dari tindakan-tindakan Presiden Soekarno yang melanggar hukum, UUD dan demokrasi, antara lain dengan mengangkat dirinya sebagai formatur kabinet dengan mengadakan dekirit Presiden kembali ke UUD 1945, dengan mengakui DPR pilihan rakyat sebagai Parlemen sementara dan kemudian membubarkannya dan mengangkat anggota dan Parlemen yang baru. Esensi dari kenyataan-kenyataan yang terjadi dalam praktik penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang mengabaikan hukum baik pada masa orde lama maupun pada masa orde baru, ujungnya kesengsaraan bagi rakyat.

Apabila pemerintah Orde Baru memperhatikan kritik keras Bung Hatta terhadap Demokrasi Terpimpinya Bung Karno, saya pikir rezim Orde Baru tidak akan sampai menjadi rezim otoriter dan melahirkan krisis demorasi. Bung Hatta dalam urainnya mengenai Demokrasi Kita, mengungkapkan:

Sebab-sebab dari krisis demokrasi di Indonesia adalah antara lain kurang adanya rasa tanggung jawab dan toleransi pada pemimpin-pemimpin politik, merajalelanya semangat ultrademokrasi, tidak lagi secara berwibawa berfungsinya Dwitunggal –mereka hanya dijadikan simbol. Masalah-masalah lain dalam pelaksanaan yang menimbulkan krisis demokrasi adalah tidak dapatnya terbentuk suatu pemerintahan yang kuat, karena diombang ambing oleh politik dan partai politik, sehingga terjadi krisis kabinet yang berkelanjutan. Kurang pengalaman dengan pemerintahan yang demokratis. Terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, dengan menonjolkan kepentingan golongan sendiri, dan tidak ditempatkannya the right men in the right place. Partai menjadi tujuan, dan negara menjadi alatnya. Sehingga orang masuk partai bukan karena keyakinan, melainkan karena ingin memperoleh jaminan….”.

Pesan dari kritik yang keras dari Bung Hatta terhadap Demokrasi Terpimpinya Bung Karno itu sangat jelas, yakni penegakkan hukum dan konstitusi. Dimana, secara juridis konstitusional sudah ditegaskan, bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtsataat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machsataat). Penegasan tersebut mengandung makna, bahwa hukum dan konstitusi di Indonesia harus diberikan peranan secara mendasar, yakni sebagai titik sentral dalam seluruh kehidupan masyarakat, maupun kehidupan bangsa dan bernegara. Penegakan hukum dan konstitusi itu dalam pandangan Bung Hatta tidak hanya ditujukan untuk rakyat saja, melainkan juga untuk penyelenggara negara.

Apabila pada negara-negara diktatur, kehendak penguasa menjadi dasar kaidah dan menuntut penyerahan total warga negaranya pada kehendak penguasa. Tidak demikian halnya dengan negara Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila yang berasaskan kekeluargaan rakyat mempunyai politik hukum sendiri sesuai dengan “rechtsidee” yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945. Pada tataran politik, menurut Bagir Manan, tujuan politik hukum Indonesia adalah tegaknya negara hukum yang demokratis. Pada tataran sosial dan ekonomi, politik hukum bertujuan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sedangkan pada tata normatif, politik hukum bertujuan tegaknya keadilan dan kebenaran dalam setiap segi kehidupan masyarakat. Seluruh tujuan tersebut berada dalam suatu bingkai tatanan hukum nasional yang bersumber dan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Dari tujuan politik hukum sebagaimana dikemukakan di atas, dan dikaitkan dengan pemikiran Negara Hukum Pancasila yang diidamkan Bung Hatta, nyatalah penegakkan hukum dalam visi Bung Hatta lebih dari sekedar penegakkan hukum di ruang pengadilan, tetapi penegakkan hukum dalam organisasi negara.

Dari sudut penegakkan hukum dalam negara itu, apabila eksistensi hukum cenderung mendukung kekuasaan pemerintah dan mengabdi pada kepentingan politik penguasa, hukum belum ditempatkan pada peranan dan kedudukannya yang benar, maka persoalannya berkaitan dengan semangat penyelenggara negara dan sistem politik yang digunakan. Mengenai hal ini telah digambarkan Bung Hatta dengan tepat dalam tulisan “Menuju Negara Hukum”, bagaimana keadaannya pada waktu pergantian Kabinet Presidensiil dengan Kabinet Parlementer karena Kabiner Prisidensiil oleh politisi pada waktu itu dianggap tidak demokratis. Pemerintahan Parlementer dengan tiada parlemen. Demikian juga halnya dalam pemerintahan orde baru dengan dwifungsinya yang memandang sebagai keadaan yang harus berlaku terus. Meskipun kenyataan itu dalam pandangan Hatta sebagai suatu kenyataan yang tidak dapat disangkal, namun hal itu terjadi akibat kaum sipil dan partai-partai politik untuk bersikap menurut Pancasila yang ditetapkan dalam pembukaan UUD 1945.

Bila kita pahami keadaan penyelenggaraan pemerintahan negara pada masa rezim orde lama dan rezim orde baru, kita dapat menangkap “kegelisahan” Bung Hatta seperti dikemukakan di atas. Dimasa demokrasi terpimpin kekerasan/kekuasaan sepenuhnya menjadi cara penggunaan hukum. Sistem yang berlaku memang tidak begitu percaya kepada prosedur hukum, kecuali revolusi. Hukum seringkali diabaikan demi revolusi. Malah pemerintahan mempunyai kewenangan untuk mencampuri proses dan keputusan pengadilan. Sedangkan dimasa Orde Baru produk DPR merupakan sumber utama kekuatan formal pemerintah. Sekalipun begitu, pemerintah masih mempunyai kesempatan luas untuk menafsirkan undang-undang melalui peraturan pelaksanaan yang menjadi kewenangannya dalam merealisir hukum. Hukum dirasakan tidak melembagakan kesejahteraan rakyat dan demokrasi, sebaliknya hukum mengabdi pada kepentingan politik penguasa dan menindas rakyat. Mengapa ?

Seperti diketahui, bahwa Rezim Orde Baru memiliki ciri-ciri yang sama dengan banyak rezim birokratis otoriter di dunia ketiga. Diantara ciri-ciri itu, sebagaimana dikemukakan A.S Hikam, bahwa keberadaan negara yang sangat dominan dan mempunyai kekuatan penetrasi sangat luas dalam hampir segala dimensi kehidupan serta terjadinya depolitisasi dalam skala massif dalam batang tubuh masyarakat. Sebagai konsekuensinya pertumbuhan dan perkembangan civil society senantiasa mengalami kendali baik struktural maupun kultural sehingga ia tetap lemah. Tetapi, di sisi lain keadaan itu juga tidak terlepas dari sisi buruk negara kesejahteraan (walfare state) ketika tidak ada kontrol yang memadai terhadap penggunaan asas fries ermersen oleh pemerintah. Sehingga kebebasan bertindak dari pemerintah, menjadi energi untuk melanggengkan kekuasaannya. Akhirnya dirasakan sebagai tindakan sewenang-wenang dari penguasa, dan pada saat itu pula esensi negara hukum menjadi absurd. Lebih dari itu sukar dihindari, bahwa daya tahan masyarakat tidak berdaya berhadapan dengan penetrasi negara (penguasa).

Bung Hatta mengatakan Demokrasi Pancasila baru dapat hidup apabila negara Indonesia sudah menjadi negara hukum. Dengan demikian politik harus dikembangkan sebagai sumber daya hukum, dan hukum tidak dimanfaatkan sebagai energi bagi elite politik memperbesar kekuasaannya. Di lain pihak, terpuruknya kehidupan hukum dan “merajalelanya” politik dan otoriternya pemerintahan, tidaklah senantiasa sebagaimana disangkakan banyak orang, yakni adanya ruang bagi politik elite “bermain” dengan kefleksibelan UUD 1945. Ini dapat dipahami dengan mudah, dimana UUD 1945 sudah menyatakan “negara hukum” dan “kedaulatan rakyat” merupakan asas-asas kehidupan bernegara, tetapi tidak diindahkan atau tidak benar-benar konsisten ditegakkan.

Meski harus diakui, bahwa hukum adalah produk politik, tetapi ketika hukum sudah ditetapkan, maka politik dan kekuasaan harus tunduk pada hukum. Sehingga tegak dan berfungsinya hukum sebagaimana mestinya tergantung dari semangat penyelenggara negara dan sistem politik yang dipakai. Dalam hubungan ini, betapa dalam sebenarnya kritik keras Bung Hatta terhadap Demokrasi Terpimpinnya Bung Karno dan sekaligus dapat direfleksikan pada penyelenggaraan negara pada rezim era Orde Baru. Meskipun “kisah keprihatinan demokrasi dan hukum” pada kedua rezim itu alurnya tidak sama, tetapi subtansinya tidak jauh beda, yakni negara hukum masih sebatas menjadi tujuan. Kedaulatan penguasa menindas kedaulatan hukum.

4 .Supremasi Hukum Dalam Pandangan Bung Hatta.

Apakah era roformasi akan membawa suatu perubahan yang berarti dalam mewujudkan cita negara hukum Indonesia sebagaimana yang cita-citakan Bung Hatta ? Saya sepertinya belum yakin betul bila melihat apa yang terjadi sekarang, terutama berkaitan dengan penghargaan kita kepada hukum ketimbang politik. Bahkan keadaan ini digambarkan Soewoto Mulyosudarno dengan tepat, ada sesuatu memang tidak dapat dibenarkan akal oleh sehat, jika partai politik yang mempunyai suara mayoritas tidak berhasil mencalonkan wakilnya dalam jabatan eksekutif. Dalam kasus demikian ini secara politik, sudah dapat dikaitkan dengan perbuatan korupsi atau praktek politik uang. Namun demikian secara formal menyatakan seseorang dinyatakan bersalah membutuhkan bukti-bukti yang cukup, dan hukum masih belum mampu mengatasi ketidak-berdayaannya. Tetapi untunglah Undang Tindak Pidana korupsi yang baru telah memperbaiki kelemahan undang-undang tindak pidana korupsi sebelumnya dari delik materil menjadi delik formil.

Hukum memang sangat terbatas kemampuannya untuk menyelesaikan kasus-kasus yang oleh masyarakat secara politik sudah dianggap terjadi kejahatan. Namun tidak lantas menjadikan cara-cara politik mengambil alih fungsi hukum. Dan kecederungan seperti inilah yang sekarang menjadi model di Indonesia. Hal ini terjadi bukan tanpa sebab, ketidak percayaan terhadap institusi penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, pengadilan) dalam menangani permasalahan hukum telah memicu lembaga politik seperti DPR(D) berperan sebagai instusi penegak hukum dalam menjalankan fungsi kontrolnya. Bahkan persoalan hukum tidak jarang menjadi komoditas politik elit. Misalnya saja dalam kasus Bulogate I yang menjadikan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terpaksa harus turun dari “kursi” Presiden RI. Tetapi hasil Pansus DPR atas Buloggate I itu tidak sampai membawa Gus Dur kepengadilan. Sebaliknya, kasus Buloggate II yang melibatkan Ketua DPR Akbar Tanjung dan mengantarkannya sebagai terdakwa di pengadilan.

Dan pada saat proses hukum Akbar Tanjung berjalan di pengadilan, sebagian anggota DPR bersikeras membentuk Pansus Buloggate II, meskipun gagal. Tapi maknanya apa ? Ketika ketika kepastian hukum yang sedang dituju, tetapi politik tidak berhenti. Jadi, kehidupan hukum kita makin tidak pasti dan kepastian hukum adalah ketidak-pastian hukum. Politik seperti tetap ingin jadi “panglima” dalam negara yang menyatakan dirinya negara hukum. Mengikuti jalan pikiran Bung Hatta, keadaan yang digambarkan tadi memang adalah suatu kenyataan, tetapi lagi-lagi sebagai pencerminan tidak konsistennya kita menegakkan hukum dan konstitusi.

Kalau saja para politikus yang ada DPR mau memahami dan menegakkan konsitusi (UUD 1945), maka tidak perlu ada Pansus Buloggate, karena sudah ada penegasan hukumnya. APBN ditetapkan dengan undang-undang. Bung Hatta sendiri jauh-jauh hari (27 tahun lalu) telah mengemukakan pandangannya:

“sekarang ini masih ada dijalankan kebiasaan yang bertentangan dengan peraturan UUD 1945, yaitu apa yang yang disebut dengan pengeluaran “non-budgeter”. Mudah-mudahan kebiasaan ini dapat dihilangkan sebab bertentangan dengan UUD 1945 yang berdasarkan Pancasila.”

Pandangan yang arif dari Bung Hatta itu sangat jelas pesan hukumnya. Namun mengapa dana non-budgeter itu tetap dipelihara sampai pada pemerintahan Megawati sekarang dan menjadi perdebatan politik di DPR ? Kalau konstitusi telah mengamanatkan pendapatan dan belanja negara ditetapkan dengan undang-undang, mengapa dana non-bugedter itu kita biarkan terjadi selama bertahun-tahun ?

Sekalipun pembentuk negara menyatakan UUD 1945 bersifat sementara, tetapi kesepakatan mengenai Indonesia sebagai negara hukum, saya pikir tidak identik dengan sifat kesementaraan UUD 1945. Sebagaimana dikemukakan Bung Hatta:

“ apabila kita renungkan UUD 1945 sedalam-dalamnya, bahwa segala yang penting bagi bangsa, apalagi yang ditimpakan kepada rakyat sebagai beban materil dan idiil harus berdasarkan undang-undang, nyatalah bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum. Negara hukum yang berdasarkan Pancasila ! Pemimpin-pemimpin negara sering menyebut, bahwa demokrasi Indonesia adalah Demokrasi Pancasila. Memang ini sebagai tujuan dan masih menjadi tujuan. Demokrasi Pancasila baru dapat hidup, apa bila negara Indonesia sudah menjadi negara hukum. Dan negara hukum itu belum lagi tercapai.”

Mencermati pandangan Bung Hatta tersebut, maka keadaan penyelenggaraan negara hukum Indonesia masih menjadi tujuan. Hukum diekspolitasi sebagai kekuatan formal pemerintah dan melahirkan pemerintahan yang otoriter, tidak sedikit pula sesuatu yang menyangkut kepentingan rakyat diputuskan sepihak oleh eksekutif. Bahkan ada kebijakan presiden yang dari substansinya mesti ditetapkan dengan undang-undang, tetapi hanya diputuskan dengan Kepres saja.

Disisi lain, sungguhpun kita dapat dengan cerdas membedakan demokrasi Pancasila dengan demokrasi liberal, namun kontrol rakyat dan atau wakilnya kepada penguasa dan negara adalah prinsip yang tak bisa ditawar. Dalam konteks ini negara konstitusional sekarang ini harus didasarkan atas suatu sistem perwakilan yang demokratis yang menjamin kedaulatan rakyat. Dan memperhatikan pokok-pokok pikiran yang terdapat dalam dalam pembukaan UUD 1945, maka negara hukum yang ingin dibangun adalah negara hukum yang didasarkan atas prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan sosial bagi masyarakat Indonesia yang bersatu. Negara Hukum Pancasila menurut istilah Bung Hatta.

Suatu negara hukum yang didasarkan atas prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan sosial hanya dapat terwujud apabila terpenuhi beberapa syarat, yang salah satunya adalah produk hukumnya harus demokratis. Dalam konteks ini Bung Hatta dalam tulisan Ke Arah Indonesia Merdeka menyebutkan, aturan penghidupan haruslah sempurna dan berbahagia bagi rakyat kalau ia berasaskan kedaulatan rakyat. Dan saya pikir, mungkin itu pula sebabnya mengapa Bung Hatta mengingkan suatu sistem hukum yang dapat menjadi wadah untuk menampung sekaligus sarana untuk mengembangkan lebih lanjut usaha-usaha untuk mencapai tujuan kita bernegara.

Tetapi banyak orang yang terpancing untuk berhenti pada hukum, melupakan tujuan yang hendak dicapai melalui sarana ini. Diskursus yang berkembang, seakan-akan tidak beranjak dari persoalan tafsir mengenai kepastian hukum. Dalam kehidupan hukum dinegara kita, pada saat ini, wacana tersebut sering berlarut-larut, sehingga terkesan bahwa hukum itu sekedar permainan logika dan kata-kata atas tafsir aturan hukum yang berlaku. Sehingga supremasi hukum seperti demikian sulit diwujudkan dalam negara yang menamakan dirinya negara hukum.

5. Penegakkan Supremasi Hukum Dalam Pandangan Bung Hatta.

Hakikat negara hukum pada pokoknya berkenaan dengan ide tentang supremasi hukum yang dapat dibandingkan dengan ide kedaulatan rakyat atau demokrasi. Dalam konteks ini, Jimly Asshiddiqie lebih jauh mengemukakan, bahwa dalam setiap negara hukum, hukumlah yang diandaikan sebagai pemegang kekuasaan yang tertinngi. Karena itu, yang diutamakan adalah “nomos” atau nilai, sehingga dikenal istilah “nomocracy” (Nomokrasi). Sedangkan dalam paham kedaulatan rakyat, rakyat yang dianggap berdaulatan di atas segala-galanya, sehingga dalam literatur politik yang dikenal kemudian adalah “democracy” (demokrasi). Yang pertama mengutamakan nilai yang dicerminkan dalam sistem aturan, sedangkan yang kedua mengutamakan orang banyak dengan anggapan, makin banyak orang yang terlibat atau makin luas partisipasi dalam mengambil keputusan mengenai kekuasaan, makin baik sistem ketatanegaraan yang dianut dalam negara tersebut.

Kedua aliran pikiran tersebut menurut Jimmly sama-sama dianut dalam UUD 1945, sehingga negara hukum Indonesia adalah negara hukum yang demokratis atau pun negara demokrasi (menganut asas kedaulatan rakyat) yang berdasarkan hukum. Di dalam sistem demokrasi dan sistem negara hukum yang kita anut itu, terkandung prinsip konstitusionalisme dan asas legalitas, prinsip pembagian kekuasaan negara, pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia, asas kedaulatan rakyat yang dilakukan melalui sistem perwakilan atau demokrasi bertingkat (tidak lansung).

Memahami hakikat negara hukum tersebut, bagaimana pandangan Bung Hatta mengenai penegakkan supremasi hukum ? Refleksi dari pandangan Bung Hatta mengenai penegakkan supremasi hukum setidaknya tergambar dalam pidato Bung Hatta yang berjudul “menuju negara hukum”. Dari pidato tersebut dapat dipahami, bahwa tegaknya supremasi hukum di negara Indonesia apabila Negara Hukum Indonesia didirikan. Dan negara hukum yang didirikan itu bukanlah sembarang negara hukum, melainkan negara hukum yang berdasarkan Pancasila.

Namun, dalam pandangan Bung Hatta negara hukum yang dicita-citakan itu belum terwujud, bahkan sampai saat ini, apabila kita dipahami kenyataan yang terjadi pada pemerintahan rezim orde baru yang baru saja tumbang. Tidak terwujudnya negara hukum sebagai akibat kurang dipahaminya Pancasila dan pemimpin negara tidak bersikap menurut Pancasila yang ditetapkan dalam UUD 1945. Jadi bukan semata-mata karena hukum diabaikan. Dengan demikian peneggakan negara hukum Indonesia haruslah berjalan secara simultan dengan pemantapan pancasila sebagai dasar dan ideologi negara.

Memahami Pancasila secara tepat dan benar, dalam pandangan Bung Hatta sepertinya menentukan bagi terwujudnya negara hukum, yang sekaligus tegaknya supremasi hukum. Dalam hubungan ini, urutan sila-sila Pancasila sebenarnya tersusun dalam lapisan fundamental moral dan lapisan fundamental politik. Lapisan fundamental moral diletakkan di atas, dan lapisan fundamental politik diletakkan dibawahnya. Dengan lapisan fundamental Pancasila itu menurut Bung Hatta, maka dasar Ketuhanan Yang Masa Esa dasar yang memimpin cita-cita kenegaraan Indonesia untuk melaksanakan segala yang baik bagi rakyat dan masyarakat. Sedangkan dasar kemanusian yang adil dan beradap adalah kelanjutan dengan perbuatan dalam praktek hidup dari pada dasar yang memimpin tadi. Dasar persatuan Indonesia menegaskan sifat negara sebagai negara nasional, berdasarkan ideologi sendiri dengan bersendi kepada Bhineka Tunggal Ika, sedangkan dasar kerakyatan menciptakan pemerintahan yang adil, yang dilaksanakan dengan rasa tanggung jawab, agar terlaksana keadilan sosial yang tercantum dalam sila kelima. Dasar keadilan sosial adalah pedoman dan tujuan kedua-duanya.

Sila Ketuhanan Yang Maha Esa tidak hanya dasar hormat menghormati agama masing-masing, melainkan menjadi dasar yang memimpin kejalan kebenaran, keadilan , kebaikan, kejujuran, dan persaudaraan. Negara dengan itu memperokoh fundamennya. Dengan dasar-dasar ini sebagai pemimpin dan pegangan, pemerintah negara pada hakekatnya tidak boleh menyimpang dari jalan yang lurus untuk mencapai kebahagian rakyat dan keselamatan masyarakat, perdamaian dunia serta persaudaraan bangsa-bangsa. Bukankah ditegaskan dalam dalam pembukaan UUD kita (UUD 1945), bahwa Pancasila itu gunanya untuk mendidik dan meyakinkan diri pada tugas supaya memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, pendamaian abadi dan keadilan sosial ? Dalam hubungan ini Bung Hatta mengungkapkan, bahwa berdasarkan Pancasila sebagai ideologi negara direncanakan UUD yang akan menjadi sendi politik negara dan politik pemerintahan.

Pandangan Bung Hatta terhadap Pancasila tersebut menyiratkan, bahwa penegakkan Supremasi Hukum di Indonesia hanya akan terwujud apabila negara dan pemerintahan dijalankan dengan memegang teguh dan memperhatikan fundamental moral dan fundamental politik dari Pancasila. Dan dalam tataran hukum tata negara positif, penegakkan supremasi hukum akan terwujud apabila pemimpin negara bersikap menurut Pancasila yang ditetapkan dalam UUD 1945. Pancasila dan UUD 1945 menjadi pegangan buat kita semuanya untuk melaksanakan dalam negara. Hal ini tentu tidak terlepas dari pandangan Bung Hatta, bahwa negara hukum akan lahir, apabila identita susunan negara dengan susunan hukum.

Makna dari identita susunan negara dengan susunan hukum itu, agaknya sejalan dengan apa yang dikemukakan Padmo Wahjono, bahwa sesuatu organisasi negara demi kepastian dan kelanggengannya memerlukan suatu serangkaian tata hukum sebagai jaminannya, merupakan suatu fakta yang tak dapat dihindarkan dizaman modern ini. Terutama bagi negara-negara yang mendabakan suatu negara hukum atau yang mendasarkan kegiatan-kegiatan kenegaraannya berdasarkan hukum. Dengan ungkapan juridis dapat dikemukakan, bahwa suatu Negara perlu “menjelmakan” diri menjadi suatu tata hukum nasional yang bersumber pada satu ketentuan dasar.

Dari sejumlah fakta-fakta yang dapat diamati atas penyelenggaraan Negara Indonesia, tampaknya memang negara hukum belum tumbuh dan berjalan sebagaimana yang diharapkan Bung Hatta. Apalagi bila hukum (termasuk UUD 1945) dimamnfaatkan untuk kepentingan politik elite untuk memperbesar kekuasaannya. Sehingga penegakkan supremasi hukum di Indonesia semakin jauh dari titik tujuanya. Singkatnya penegakkan supremasi hukum dalam pandangan Bung Hatta berjalan seiring dengan pengertian Bung Hatta terhadap negara hukum yang tidak identik dengan Wettestaat, tetapi rule of law.

Penutup.

Pengungkapan pandangan Bung Hatta dalam penegakkan supremasi hukum dalam tulisan ini saya sadari masih sangat terbatas. Untuk itu saya mengajak kita semua untuk mengkaji pemikiran-pemikiran Bung Hatta dalam bidang hukum, karena factanya sampai sekarang Negara Hukum Indonesia yang belum terwujud sebagaimana yang dicita-citakan. Belum terwujudnya negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, maka sesungguhnya supremasi hukum di Indonesia masih merupakan pekerjaan besar dalam rangka reformasi hukum sebagai salah satu tuntutan dari gerakan reformasi.. (***)

*Makalah ini pernah disampaikan dalam seminar nasional di Universitas Bung Hatta.

Daftar Kepustakaan:

Arbi Sanit, Politik Sebagai Sumber Daya Hukum: Telaah Mengenai Dampak Tingkah-Laku Politik Elit dan Massa Terhadap Kekuatan Hukum di Indonesia, dalam Artidjo Alkotar, dkk (ed), Pembangunan Hukum Dalam Perspektif Politik Hukum Nasional, Rajawali Pers-Jakarta, 1986.

C.F Strong, Modern Political Constitutions", The English Language Book Society and Sidwick & Jackson Limited, London; 1965.

Frans Seda, Relevansi Pikiran-Pikiran Bung Hatta dalam Era Globalisasi, dalam , Pemikiran Pembangunan Bung Hatta, LP3ES-Jakarta 1995.

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Sebagai Landasan Menuju Indonesia Baru Yang Demokratis, makalah dalam Seminar Hukum Nasional VII, BPHN, Jakarta 12-15 Oktober 1999.

Muchtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Pekermbangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Bandung LPHK FH Unpad-Bina cipta, 1976.

Muchtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Penerbit Binacipta, 1986.

Muhamad A.S Hikam, Pemberdayaan Civil Society Dalam rangka Reformasi Hukum, makalah dalam seminar Hukum Nasional VII, BPHN Jakarta, 12-15 Oktober 1999

Muhammad Hatta, Menuju Negara Hukum, Yayasan Idayu-Jakarta 1975

Muhammad Hatta “Kearah Indonesia Merdeka’ , tahun 1932.

Padmo Wahjono dalam pidatonya pada penganugerahan Doktor kehormatan dalam bidang ilmu hukum kepada Bung Hatta,30 Agustus 1975.

Sartono Kartodirdjo, Peranan Bung Hatta Dalam Pembangunan”, dalam “Pimikiran-Pemikiran Bung Hatta, LP3ES, 1995.

Sunaryati Hartono, Reformasi Total Untuk mengatasi Krisis Ekonomi Dan Krisis Total yang Sedang Melanda Indonesia, dalam Mieke Komar, Etty R.Agoes, Eddy Damian (Ed), Muchtar Kusumaatmadja Pendidi & Negarawan, Alumni-Bandung, 1999.

Soewoto Molyosudarno, Pengaruh Konfigurasi politik Dalam Upaya Penegakkan Hukum, Jurnal Mahkamah, Vol.12 No.1 Tahun 2001.

TB. Ronny R. Nitibaskoro, Hukum Sebagai Alat Kejahatan, Kompas 16 Oktober 2000.

Spesial Untuk Anda:

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar