Skip to main content
Boy Yendra Tamin

follow us

Krisis Kehidupan Hukum: sebuah catatan awal

Oleh: Boy Yendra Tamin

Bagi kalangan hukum bukan hal yang asing, bahwa dilihat dari fungsionalitas hukum, hukum merupakan pisau bermata dua. Disatu pihak hukum bisa menjadi hukum yang menindas (repressive laws), dan dilain pihak hukum bisa menjadi hukum yang bersifat membantu kearah perubahan (facilitative laws). Fungsionalitas hukum yang disebut terakhir ini dikenal pula dengan sebutan hukum sebagai alat perubahan sosial (agent of changes) atau a tool of social enggineering. Meskipun kedua kutup fungsinalitas hukum sampai saat ini menjadi perdebatan kalangan hukum disetiap kali membicarakan hukum, tetapi yang terpenting adalah bagaimana hukum memainkan peran dan fungsinya dengan optimal. Pemikiran mengenai hal ini akan terasa makin penting untuk merespon apa yang sekarang disebut dengan “krisis” hukum yang juga turut disumbang oleh pertarungan teori hukum dan selanjutnya berimplikasi pada sistem hukum

Philippe Nonet &Philip Selnick (2008;3) mengemukakan, bahwa banyak perhatian dan kontroversi seputar ilmu hukum kotemporer yang berakar pada krisis otoritas yang telah menguncang institusi-institusi publik. Kritik atas hukum selalu ditunjukkan kepada tidak memadainya hukum sebagai alat perubahan dan sebagai alat untuk mencapai keadilan subtantif. Saat ini kegelisahan tersebut masih ada, namun ada catatan baru, yaitu pembahasan mengenai kriris legitimasi. Tanda bahaya yang konservatif tentang terkikisnya otoritas, penyalahgunaan aktivitasme hukum, dan macetnya “hukum dan ketertiban” (law and order) digunakan dalam gerakan baru yang radikal yang berfokus kemandulan dan terkorupsinya tertib hukum. Dalam kritik neo-marxis ini, ada dua tema dominan . Pertama, institusi ketertiban sosial secara keseluruhan dan bekerja terutama sebagai alat kekuasaan. Dalam tema ini, keberpihakkan hukum yang sangat jelas, yang menguntungkan golongan kaya dan merugikan serta menipu golongan miskin dicatat sebagai bukti yang tidak terbantah. Kedua, ada kritik terhadap legalisme liberal (“liberal legisme”) itu sendiri, mengenai gagasan bahwa tujuan keadilan dapat dicapai melalui sistem peraturan dan prosedur yang objektif , tidak memihak dan otonom. Tema-tema ini terkait satu sama lain, karena “the rule of law” (pemerintahan berdasarkan hukum) –yang tidak mampu mengatasi isu-isu mendasar mengenai keadilan sosial dan merupakan pendukung utama kekuasaan dan keistimewaan –turut ambil bagian dalam korupsi yang lebih dalam. Lebih buruk lagi, the rule of law merupakan “musuh tersembunyi”. (Philippe Nonet &Philip Selnick ;2008;4)

Krisis kehidupan hukum yang digambarkan di atas, dapat dikatakan masih relevan dengan kondisi kehidupan hukum di Indonesia saat ini.   Beberapa tahun belakangan ini, banyak terjadi peristiwa hukum yang mengejutkan, dan mencengangkan yang  persoalannya tidak hanya berkisar pada masalah inkonsitensi penegakkan hukum, tetapi makin terlihatnya hukum tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat dan kian lemahnya kepastian dan keadilan hukum. Dalam konteks ini  Sudjito mengemukakan, bahwa hukum Indonesia saat ini dinilai lebih banyak berpihak kepada penguasa, pengusaha dan politisi. Akibatnya rakyat semakin termarjinalkan. Sudah saatnya paradigma hukum Indonesia perlu diubah. Menurut Sudjito kondisi hukum di Indonesia akan semakin buram jika masih saja berkutat dengan penerapan paradigma hukum lama yang positivistik. Paradigma ini cenderung sekuler, materialistik dan mengandung cacat ideologis. "Paradigma hukum di Indonesia memang telah dijalankan, tetapi telah meninggalkan moralitas. Hukum telah diceraikan dari moralitasnya “. (detiknews.com ; 2009/12/29)

Kegelisahan kalangan hukum di Indonesia --khususnya pencari keadilan-- ketika keadilan hukum cenderung berupa keadilan dari proses tawar-menawar dan pemberlakuan  hukum formal. Ini terlebih lagi karena semua orang seharusnya optimis untuk mewujudkan hukum Indonesia yang lebih baik. Namun, persoalannya apakah dengan membuat sebuah lompatan dari paradigma lama (positivistik) ke paradigma baru yaitu paradigma holistik bisa mewujudkan hukum Indonesia kearah yang lebih baik. Tidak mudah untuk memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut, terutama menyangkut dasar atau pondasi bangunan hukum Indonesia. Banyak aspek yang harus menjadi pertimbangan dan itu pun tidak semata-mata mengenai kelemahan, kelebihan, kekurangan atau disekap dalam ruang baik dan buruk, apalagi bila persoalannya difokuskan pada penangangan korupsi di Indonesia. ***

Spesial Untuk Anda:

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar