Skip to main content
Boy Yendra Tamin

follow us

Review Atas tulisan : Otonomi Protektif vs Local Accountability

Oleh JONI ZEBER,SH.MH

Era reformasi yang ditandai dengan lengsernya Presiden Soeharto memberi harapan besar bagi terjadinya perubahan menuju penyelenggaraan negara yang lebih demokratis, transparan, dan memilki akuntabilitas tinggi serta terwujudnya good governance dan adanya kebebasan berpendapat. Semuanya itu diharapkan makin mendekatkan bangsa pada pencapaian tujuan nasional sebagaimana terdapat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Harapan itu kemudian diperjuangkan oleh DPR hasil Pemilu Tahun 1999.[1]

Memang benar ketika Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999  tentang Pemerintahan Daerah mulai diterapkan, banyak kalangan menilai sebagai era kebangkitan otonomi daerah di Indonesia.  Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 ini memberi keleluasaan dan kewenangan yang sangat luas kepada pemerintah daerah dan diharapkan dapat mengembangkan kreatifitas dan kemampuan daerah terutama daerah kabupaten/kota untuk memperhatikan hak-hak komunitasnya sesuai dengan karakteristiknya.

Seiring dengan perkembangan keadaan, dinamika politik dan perkembangan ketatanegaraan di Indonesia Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 ini dicabut dan digantikan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ini masih memakai judul yang sama dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, namun jika kita teliti subtansi dan materi dari kedua Undang-Undang ini terdapat perbedaan-perbedaan yang cukup signifikan.

Kembali kita kepada permasalahan pokok, apakah konsepsi otonomi daerah yang dikembangkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 merupakan proteksi terhadap konsep otonomi luas yang dianut dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 atau merupakan pemantapan konsep otonomi luas yang telah dibangun sejak runtuhnya orde baru beberapa tahun lalu.

Latar belakang  perlu digantikan atau dicabutkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun1999, dapat kita lihat pada konsideran menimbang huruf c Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, yakni “bahwa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah sehingga perlu diganti;”.

Di dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dijelaskan perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, dilatar belakangi karena adanya perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.  Selanjutnya dinyatakan, bahwa perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, juga memperhatikan beberapa Ketetapan MPR dan Keputusan MPR, seperti Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah; dan Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2002 tentang Rekomendasi Atas Laporan Pelaksanaan Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia oleh Presiden, DPA, DPR, BPK, dan MA pada sidang tahunan MPR RI tahun 2002 dan Keputusan MPR RI Nomor 5/MPR/2003 tentang Penugasan Kepada MPR RI Untuk Menyampaikan Saran Atas Laporan  Pelaksanaan Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia oleh Presiden, DPA, DPR, BPK, dan MA pada sidang tahunan MPR RI tahun 2003.

Terdapat perbedaan konsepsi otonomi daerah sebagaimana yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, dinyatakan otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut  prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, menyebutkan otonomi daerah itu adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 menganut paham pembagian kewenangan antara daerah otonom dengan Pemerintah Pusat, sedangkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 menganut paham pembagian urusan antara daerah otonom dengan Pemerintah Pusat.

Dalam pembagian kewenangan/urusan pemerintahan antara Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 maupun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 sama-sama menganut Teori Residu atau Teori Sisa. Teori sisa disini dimaksudkan bahwa undang-undang mengatur kewenangan suatu lembaga dan seluruh sisanya menjadi kewenangan lembaga yang lainnya.

Dalam konteks Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang kewenangan, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ditentukan menjadi urusan pemerintah. Hal ini dapat kita lihat pada rumusan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, sebagai berikut:

(1) Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah.

(2) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.

(3) Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

  • politik luar negeri;

  • pertahanan;
  • keamanan;
  • yustisi;
  • moneter dan fiskal nasional;  dan
  • agama.
(4) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah menyelenggarakan sendiri atau dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada perangkat Pemerintah atau wakil Pemerintah di daerah atau dapat menugaskan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa.
 (5)Dalam urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah di luar urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah dapat:
  • menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan;
  • melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah; atau
  • menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan.
Dengan demikian urusan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah adalah seluruh urusan sisa atau selain dari tujuh urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah, yakni selain dari: (a) politik luar negeri; (b) pertahanan; (c) keamanan; (d) yustisi; (e) moneter dan fiskal nasional;  dan (f) agama.

Pemakaian istilah urusan sebagai maksud dari kewenangan adalah konsekwensi logis dari perubahan Undang-Undang Dasar 1945 pasca reformasi tahun 1999 -2002.  Hal ini dapat kita lihat pada perubahan Pasal 18 UUD 1945. Pasal 18 UUD 1945 yang sebelumnya hanya ada satu ayat, di dalam Pasal 18 UUD 1945 yang telah diamandemen sudah menjadi tujuh ayat, ditegaskan sebagai berikut:

(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.

(2) Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

(3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.

(4) Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.

(5) Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.

(6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.

(7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.

Di dalam ayat (2) dan ayat (5) Pasal 18 UUD 1945 di atas kita temui istilah ‘urusan pemerintahan’ bukan ‘kewenangan’, yang kemudian di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 juga menggunakan istilah  urusan pemerintahan. Selanjutnya sebagai amanat Pasal 14 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dibentuklah Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah, Provinsi, dan  Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.

Di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ditegaskan bahwa pemerintah daerah dalam menyelenggarakan urusan  pemerintahan memliki hubungan dengan pemerintah dan pemerintah daerah lainnya. Penegasan ini merupakan koreksi terhadap pengaturan sebelumnya di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, yang menegaskan bahwa daerah provinsi, daerah kabupaten dan daerah kota masing-masing berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hierarki satu sama lain.[2]

Disamping alasan-alasan di atas dan belajar dari pengalaman sejarah baik pada zaman Orde Lama maupun Orde Baru, menurut penulis perbedaan konsepsi otonomi daerah sebagaimana yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun  1999 dengan konsepsi otonomi daerah di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, lebih karena trauma politik, yaitu banyaknya aspirasi daerah yang berkehendak  memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. (*)

DAFTAR PUSTAKA

Ni”matul Huda, S.H., M.Hum., Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007).

MPR RI, Panduan Dalam Memasyarakatkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2003).

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan di Daerah.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang Nmor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

End Note:

[1] MPR RI, Panduan Dalam Memasyarakatkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2003), hlm. 3.

[2] Ni”matul Huda, S.H., M.Hum., Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007), hlm. 340.

JONI ZEBER, SH.MH: Alumni Program Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Bung Hatta, staf Pemda Kerinci

Spesial Untuk Anda:

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar