Skip to main content
Boy Yendra Tamin

follow us

Nafas Islam di Minangkabau

Oleh Emral Djamal Dt. Rajo Mudo

Telah menjadi kelaziman, bahwa perjalanan hidup seorang manusia Minangkabau pada zamannya, tertanam, tumbuh, terbina dan terbentuk dalam cosmos Syamsu Islami, yakni kesemestaan dibawah naungan sinar mataharinya Islam. Karena itu hukum hidup dan kehidupan yang dianut dan ditaatinya dalam upaya membentuk citra dirinya diturunkan dari hukum-hukum alam yang telah ditetapkan Tuhan Seru Sekalian Alam.

Lebih seribu tahun, sejak abad ke 9 M, Islam resmi memasuki wilayah Nusantara, khususnya Sumatera yang di dalam tambo Minangkabau disebut sebagai Pulau Perca, kemudian menjadi Pulau Emas atau Suwar nabhumi yang berpusat di Suwarnapura kemudian di Pariangan dan bukit Batu Patah. Munculnya pasangan legendaris pendiri kebudayaan Minang kabau yakni Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang di bawah bim bingan Mamaknya Datuk Suri Dirajo sebagai Penghulu tertua di Pariangan, sekitar abad 13-14 M, tidaklah merupakan sebuah “kebetulan” saja. Tetapi merupakan sebuah proses rangkaian perjalanan sejarah yang panjang. Sebuah pertarungan diplomasi intelektual telah mampu membuahkan mahkota kesepakatan yang dapat diterima semua pihak. Sehingga masing-masing kelompok atau dinasty yang ingin memonopoli kekuasaan di pusat pulau Sumatera, dengan jiwa besar mereka, lebih mendahulukan kepentingan bersama dari pada kepentingan kelompok atau golongannya

Kaba Tareh dan Salasilah Tambo Rajo-Rajo Gunung Marapi, mencatat perjalanan Islam di Minangkabau sampai sekitar abad 13-14 M, diperkuat dengan kedatangan Syaikh Maghribi mengislamkan dan menjadi guru Raja-Raja Minangkabau di Pagaruyung sebelum keberangkatannya ke Gresik di pulau Jawa. Oleh karena itu, Nafas Budaya Minangkabau adalah Islam. Semangat-elanvital yang menggerakkannya berangkat dari kesadaran dan keyakinan spiritual Islam yang diwarisinya melalui pendidikan, pembinaan dan penempaan secara tradisi sufi.


Yulizal Yunus (1993:1-2) mengatakan, bahwa dinamika kebudayaan Minang kabau merupakan semangat profetik (sastra sufi,di dunia modern dipandang masih relevan) yakni kombinasi nilai dimensi sosial yang profan (duniawi) dan dimensi transendental (bersifat kerohanian, metafisik Islam) yang menjadi akar budaya Minangkabau. Hal ini, seperti termuat dalam tambo-tambo Minangkabau dan karya sastra para ulamanya yang ahli metafisik Islam. Hal ini dimungkinkan karena karya sastra ulama itu memancarkan kesahduan sufistik, bahkan mencerminkan higher sufistik dalam membangun istana cinta di hatinya untuk mencapai Tuhan dengan penghayatan estetik.

Kebudayaan Minangkabau yang bercorak khas dan spesifik dapat dipahami sebagai hasil karya kreatif tokoh-tokoh pendiri dan ahli adatnya, sekaligus adalah juga orang-orang saleh alim ilmu yang ahli metafisik Islam. Terbukti dengan kemampuan para ulama dan ahli adatnya yang mampu menurunkan jalinan dakwah yang harmonis di atas “tungku nan tigo sajarangan” meliputi nilai-nilai Undang, Adat dan Agama.

Oleh karena itu, untuk dapat memahami secara benar, perlu dilakukan rekonstruksi terhadap unsur-unsur yang membangun kebudayaannya, sehingga dapat ditemukan hirarki adat nan bajanjang naiek batanggo turun. Sebuah perjalanan “pendakian” dan “penurunan”. Artinya naik dari jenjang yang di bawah, turun dari tangga yang di atas. Secara sepintas, konsep “naik dan turun” ini menggambarkan pandangan Integralisme (Armahedi Mahzar), yakni filsafat tradisional Islam yang dibuat untuk membangun peradaban Islam, sebagai satu-satunya peradaban dunia.

Integralisme, dianggap sebagai “super ideologi” yang dipersembahkan penulisnya (Mahzar,1982:4) bagi generasi muda Islam, untuk dikembangkan sebagai landasan bagi penyusunan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni yang khas Islam di masa depan. Seperti halnya Hikmah Islamiyah, yaitu filsafat tradisional Islam yang merupakan landasan bagi peradaban Islam di masa lalu. Namun fikiran-fikiran filsafat Integralisme Mahzar ini masih merupakan sebuah “teori”, yang disebut penulisnya sebagai “seperangkat oleh-oleh perjalanan”.

Tetapi, bagi perjalanan Islam di Minangkabau, kenyataannya sejak abad ke 14 telah melahirkan kesepakatan sebagai sebuah konvensi yang harus dijalankan dengan ikrar bersama :

Adat basandi Syarak,

Syarak basandi Kitabullah

Syarak Mangato Adat Mamakai,

Alam Takambang Jadikan Guru.

Konvensi tersebut merupakan esensi dari berbagai rumusan nilai-nilai dimensi sosial yang profan dan dimensi transendental yang telah hidup dan terintegrasi dalam kesatuan dan persatuan masyarakat pendukung kebudayaan Minang kabau yang dalam perkembangannya kemudian mampu memiliki sistem adat khas, dan spesifik Matrilineal. Konsep integral tersebut menjadi landasan utama pandangan hidup universal, dan mengakar sebagai “super ideologi” (meminjam istilah Alfen Toffler) sejak berabad-abad yang silam. Setidak-tidaknya “Minang kabau” sebagai sebuah batang kebudayaan Rumpun Melayu Nusantara telah membuktikan dirinya mampu menjadikan “sebuah corak tata bangun peradaban Islam”, Tamadunisasi yang sempat mencengangkan dunia pada zamannya. Karena “peradaban – tamadunisasi Islam yang hidup dan berkembang secara khas dan spesifik itu tidak hanya sebagai “teori-teori” belaka, tetapi telah menjadi “pakaian”, “costum budaya” dalam aplikasi kehidupan masyarakat Minangkabau dengan segala pranata-pranata sosial yang lengkap dan tersusun rapi. Adagium adatnya mengatakan :

hidup yang akan dipakai,

mati yang akan ditumpangi,

kato nan batarimo.

Dalam AAM nilai-nilai ini dirumuskan dalam aturan-aturan yang disebut sebagai Cupak Gantang Tuangan Limbago. Tersusun rapi dalam aturan-aturan sistem hidup dan kehidupan masyarakat berkaum-kaum dan bersuku-suku itu sendiri, yang diaplikasikan dan diamalkannya dalam setiap tindak laku dan perbuatan kehidupan sehari-hari. Ditampakkan dan didzahirkan dalam berbagai lukisan, simbol-simbol alami, kias, ibarat, dan tanda-tanda kehidupan Alam Minangkabau yang unik. Disampaikan dalam berbagai bentuk rumusan–rumusan sastra yang indah dan tersusun rapi, seperti pidato adat, sambah manyambah penghormatan secara adat, puisi tradisi, mantra, pituah, pantun, syair, dan lain sebagainya.

Bagaimanakah sekarang

Masihkah Minangkabau itu mampu memancangkan ”Tonggak Tareh Jilatang”nya yang menjadi “tiang bangunan utama rumah gadang ideal” untuk sebuah “super ideologi” gelombang peradaban ketiga seperti yang diversikan oleh Alfen Toffler, dalam bukunya “The Third Wave” itu?

Dok Salimbado Pusat Kajian Tradisi Alam Minangkabau : Kutipan dari Kertas Kerja Emral Djamal Dt. Rajo Mudo dengan judul : Sastra Minang, Peranan Dan Pemikiran (muatan lokal) untuk Pelatihan Guru / Kordinator Kesenian / Budaya Alam Minangkabau di lingkungan Dinas Pendidikan Kota Padang, yang dilaksanakan pada tanggal 3 s/d 11 Juni 2003 di Padang.

Spesial Untuk Anda:

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar