Skip to main content
Boy Yendra Tamin

follow us

Distorsi Kebudayaan

Oleh: Wisran Hadi

Pendahuluan

Distorsi padamulanya dikenal sebagai sebuah istilah dalam dunia elektronik. Siaran yang ditangkap dengan suara yang tidak bersih, kotor, tidak jelas, bising dsbnya pada pesawat radio disebut distorsi, kemudian istilah ini dipakai dalam pembicaraan kebudayaan. Distorsi kebudayaan maksudnya adalah pemutarbalikkan fakta, pengaburan aturan, hukum, nilai-nilai dsbnya. untuk memperoleh keuntungan kelompok tertentu atau pribadi. Distorsi juga bisa bermakna perubahan bentuk akibat beberapa faktor luar yang tidak diinginkan. Dalam pengertian yang lebih luas, distoris kebudayaan diartikan sebagai pembohongan publik, pemalsuan data dan kebenaran, pemutarbalikkan nilai-nilai dengan hal-hal yang dapat merusak sebagian atau keseluruhan sistem nilai.

Distorsi dalam kebudayaan merupakan suatu proses pembusukan nilai-nilai dan pada akhirnya meruntuhkan sistem yang sudah ada dan akhirnya meruntuhkan kebudayaan itu sendiri. Ancaman akan terjadinya distorsi kebudayaan, secara umum dapat diamati pada beberapa peringkat, di antaranya;

  1. Sejatinya, suatu kebudayaan terus berkembang dan dikembangkan oleh masyarakat pendukungnya. Hal ini sesuai dengan keberadaan dan hahekat dari pengertian kata kebudayaan itu sendiri. Perkembangan dimaksud boleh jadi berjalan sangat lambat atau terlalu cepat, namun tidak ada kebudayaan yang tidak bergerak. Kebudayaan selalu bergerak maju dan percepatan perkembangannya tergantung pada sejauh mana kebudayaan itu berinteraksi dalam ruang lingkup kehidupan dan dengan kebudayaan-kebudayaan lain yang beragam dan luas. Distorsi akan terjadi apabila interaksi antar budaya tidak berjalan dengan semestinya atau ada usaha-usaha untuk memperlambat lajunya perkembangan kebudayaan, atau adanya usaha-usaha terencana untuk mematikan atau memandulkan budaya-budaya lainnya.

  2. Kebudayaan bukanlah barang jadi dan didapat begitu saja. Kebudayaan adalah sebuah proses penyempurnaan bagi kehidupan sosial masyarakat pendukungnya. Oleh karena kebudayaan itu didapat dengan pembelajaran dan tidak sekali jadi, maka dalam pengembangan kebudayaan diperlukan arah yang jelas. Distorsi akan terjadi apabila pendidikan budaya dihentikan atau tidak dijadikan sebagai prioritas utama dalam pembinaan karakter bangsa.
  3. Percepatan gerak perkembangan dari suatu kebudayaan; usaha untuk mensejajarkan, menselaraskan kebudayaan suatu bangsa dengan kebudayaan bangsa lainnya, juga menjadi suatu keharusan dalam dinamika perkembangan kebudayaan. Pertemuan dan persilangan antar budaya dapat dijadikan bahan dalam kajian-kajian spesifik yang mau tidak mau harus ditelaah dan diamati secara bijaksana, berdasarkan pula pada kearifan lokal dari masing-masing etnis atau suku bangsa. Distorsi dalam persoalan ini akan terlihat pada adanya usaha-usaha membuatkan kotak-kotak kebudayaan menjadi sesuatu yang ekslusif atau sebaliknya membiarkan begitu saja nilai yang telah dianut menjadi bulan-bulanan dari berbagai pengaruh luar yang dapat merontokkan sistim budaya tersebut. Pendangkalan makna kata kebudayaan menjadi hanya kesenian saja, adalah salah satu bentuk distorsi yang harus dicermati.

Beberapa faktor distorsi

Dalam mengamati apakah kebudayaan Indonesia telah atau sedang mengalami distorsi secara khusus dapat dilihat dari beberapa faktor, di antaranya;

  1. Kebudayaan-kebudayaan lokal (ada bermacam sebutan; kebudayaan daerah; kebudayaan etnis: kebudayaan masyarakat tradisi) yang dimiliki bangsa Indonesia, yang dianggap sebagai asset bangsa masih dan tetap dimiliki berbagai etnis terus berkembang dan masing-masingnya saling menyempurnakan dan menanamkan serta memperkokoh nilai-nilainya sendiri. Boleh jadi, perkembangannya melanjutkan apa yang sudah ada yang tersimpan dalam khasanah budaya mereka, maupun perkembangannya “menyimpang” dari yang sudah ada. Suatu perkembangan baru yang pada dasarnya berangkat dari kebudayaan lama dengan alternatif; berbeda sama sekali dari kebudayaan lama, atau mengukuhkan kembali kebudayaan lama mereka. Problematika pengembangan kebudayan lokal dimaksud boleh jadi akan menimbulkan gesekan-gesekan antar sesama budaya etnis yang mungkin terjadi selama kebudayaan tersebut berproses. Presentasi dari gesekan-gesekan ini terlihat pada benturan antar suku yang menimbulkan banyak korban seperti yang pernah terjadi di Kalimantan, Sulawesi, Papua dan tempat-tempat lain.

  2. Kebudayaan nasional yang kini terus diusahakan untuk dapat dijadikan suatu sosok yang jelas menjadi kebudayaan Indonesia dan sekaligus diharapkan dapat menjadi jati diri bangsa, serta menjadi pemersatu kebangsaan sebagai yang dipatrikan dalam satu adagium “bhineka tunggal ika”, berbeda-beda tapi satu. Tidak dapat dihindari, masalah kebudayaan nasional juga diseret untuk masuk ke ranah politik. Dominasi dari suatu kebudayaan lokal yang tengah digenggam oleh pihak penguasa tidak dapat dihindari bahkan terjadi usaha-usaha penyeragaman dan bahkan penekanan pada budaya-budaya lokal lainnya. Hal ini terlihat jelas dalam presentasi nilai-nilai kebudayaan Jawa dalam bentuk etika, tingkah laku, tatakrama, tata nilai bahkan bahasa dan cita rasa yang diekspos habis-habisan secara nasional melalui tingkah laku, bahasa dan tatakrama para elite kekuasaan dan elite politik. Dari satu sisi, cara-cara tersebut seakan melebur, memperkecil, memperlemah dan bahkan memangsa kebudayaan-kebudayaan lokal yang seharusnya tetap dipertahankan berbagai etnis sebagaimana diakui oleh UUD negara Indonesia. Akibat “ekspansi budaya” tersebut, secara nasional yang ditemukan sekarang adalah “ke-ika-an” sedangkan “ke-bhineka-an” pupus dari hari ke hari. Kita mau jadi satu dengan menghilangkan keberagaman.
  3. Kebudayaan global yang terus merambah dan mengaburkan batas-batas negara, batas-batas budaya lokal maupun nasional yang pada akhirnya berkemungkinan akan terjadinya suatu penyeragaman dunia. Kebudayaan global yang ditupang oleh negara-negara maju atau kekuatan-kekuatan yang menguasai ilmu dan teknologi menyebabkan terjadi ketimpangan dalam kewenangan kekuasaan dalam mengelola bumi sebagai hunian bersama. Kebudayaan global juga terkadang terlihat mengerikan, karena kecenderungannya yang dianggap “bebas nilai” itu telah melabrak nilai-nilai budaya yang tengah diamalkan oleh setiap suku bangsa. Tidak dapat dipungkiri, bahwa budaya global tersebut membawa pula berbagai pemikiran-pemikiran sekuler yang dapat merontokkan nilai-nilai keagamaan yang sudah ada. Dalam konteks inilah kita dapat memahami kecemasan dan kerisauan pada agamawan, budayawan dan tokoh-tokoh masyarakat terhadap nilai-nilai yang dibawa oleh globalisasi dimaksud. 
Hal-hal tersebut di atas satu sama lain mempunyai keterkaitannya dan masing-masing mempunyai problematikanya sendiri-sendiri. Pada fase-fase tertentu boleh jadi akan mengalami pergeseran dan gesekan-gesekan kultural yang tidak dapat dihindarkan. Sebagai contoh; ketika kebudayaan lokal sedang memperkuat dirinya sebagai reaksi dari dampak-dampak negatif kebudayaan global yang melanda kehidupan mereka, pada saat yang sama, otoritas negara berusaha pula untuk membentengi dirinya dengan mempercepat lajunya pembentukan kebudayaan nasional. Dalam pada itu; baik kebudayaan lokal maupun kebudayaan nasional tersebut terus terombang ambing oleh dampak dari kemajuan iptek, politik dan ekonomi yang diusung oleh kebudayaan global.

Distoris Kebudayaan Pada Berbagai Daerah Kebudayaan

Sebagai sebuah kasus dalam konteks distorsi kebudayaan tersebut, sepatutnya kita menoleh sebentar pada problematika budaya yang tengah melanda Sumatera Barat. Sebagaimana juga propinsi lainnya di Indonesia, Sumatera Barat adalah sebuah wilayah administrasi negara Republik Indonesia yang keberadaan, kewenangan, hak dan kewajibannya diatur oleh perundang-undangan yang sah. Wilayah ini dihuni oleh sebagian besar penduduk pendukung kebudayaan Minangkabau. Akan tetapi, Sumatera Barat bukanlah “Minangkabau” dalam pengertian ketatanegaraan. Minangkabau adalah sebuah nama bagi satu suku bangsa yang punya wilayah, bahasa adat dan budaya Minangkabau. Penduduk lainnya yang juga berasal, menetap dan tinggal di Sumatera Barat banyak sekali seperti suku Mentawai, Tapanuli, Cina, Jawa, Bugis. Sebagaimana suku Minangkabau yang berasal dan bermukim di Sumatera Barat, suku-suku lain itupun demikian juga. Mereka juga pendukung dari budaya lokalnya sendiri-sendiri.

Akan tetapi ada anggapan bahwa Sumatera Barat itu hanya berbudaya Minangkabau, tanpa mau menoleh atau menyentuh budaya-budaya dari etnis lain yang juga berada di Sumatera Barat. Anggapan ini mengharuskan mereka untuk terus mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan Minangkabau.

Di pihak lain, anggapan bahwa Sumatera Barat sesungguhnya adalah “Indonesia Kecil”. Artinya Sumatera Barat yang dihuni oleh berbagai etnis dengan berbagai budaya yang mereka miliki harus mendapat perlakuan yang sama, karena semuanya adalah warga negara Indonesia yang punya hak dan kewajiban yang sama. Dengan arti kata, bahwa perlakuan pengembangan kebudayaan juga harus dilakukan seimbang antara pengembangan kebudayaan Minangkabau dengan pengembangan kebudayaan non-Minang.

Ketika pembicaraan tentang problematika budaya di Sumatera Barat mengacu pada satu macam bentuk pengembangan seperti pengembangan kebudayaan Minangkabau saja misalnya, persoalan-persoalan lainnya tentu akan segera muncul. Masalah demokratisasi dalam kebudayaan, masalah perlakuan yang sama, masalah lintas budaya, pluraisme agama dlsbnya. Persoalannya adalah bagaimana kita menempatkan kebudayaan-kebudayaan lain dalam proses pengembangan kebudayaan di Sumatera Barat. Masalah yang cukup pelik antara lain; dapatkah orang yang berada dalam suku Minangkabau dengan dukungan kebudayaan Minangkabaunya menerima secara berimbang dalam melakukan pengembangan kebudayaan dari etnis yang lain pula dan begitu juga sebaliknya.

Persoalan lain yang harus juga menjadi pertimbangan adalah; kebudayaan Minangkabau merupakan produks dari kebiasaan dan adat dengan latar agama Islam yang kuat. Hal ini menyebabkan nilai-nilai ajaran Islam menyatu sebagai adat dan budayanya yang telah berproses dalam kurun waktu yang cukup panjang dengan dinamika sejarahnya sendiri. Sementara suku-suku bangsa lain yang juga mengembangkan kebudayaan mereka berpunca dari sistem kepercayaan dan agama yang berbeda. Berbeda basis ajaran antar agama, menyebabkan berbeda pula nilai-nilai budayanya, seterusnya menyebabkan pula terjadinya perbedaan dalam etika, norma dan citarasa.

Dalam konteks ini, persoalan seputar perbedaan dari keberagaman budaya di Sumatera Barat harus ditempatkan pada prioritas utama dalam usaha mencegah terjadinya suatu bentuk distorsi yang lain pula.

Contoh kasus problematik budaya di Sumatera Barat boleh jadi, juga terjadi di daerah-daerah budaya lainnya. Distorsi akan terjadi apabila pihak pemegang kekuasaan dan masyarakat tidak jeli melihatnya sebagai “bom waktu” dari berbagai gejolak yang mungkin saja bisa terjadi sebagaimana yang telah terjadi di beberapa daerah budaya di Indonesia.

Hal ini penting diingatkan, agar di belakang hari nanti, masalah-masalah kebudayaan yang berkemungkinan dapat menjadi peluang untuk sebuah distorsi, dapat dicegah lebih dini. Jangan sampai masalah-masalah ini merebak dan kemudian diseret pihak lain kepada masalah-masalah politik, yang berujung nantinya pada berbagai goncongan sosial yang tidak dikehendaki.

Selagi kita belum mempunyai grand design atau strategi kebudayaan yang jelas dan nyata, kemungkinan distoris kebudayaan yang di-salemak-peak-an ke dalam dunia perpolitikan Indonesia hari ini akan tetap menjadi ancaman yang lebih menakutkan. Sebagaimana juga pendidikan karakter yang masih terus dalam buah mulut (wacana) saja, ancaman distoris kebudayaan tidak akan dapat dihindari. **

***Sumber:fb....../notes/wisran-hadi/distorsi-kebudayaan/10150115836419290 - 12/10/ 2013.z

Spesial Untuk Anda:

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar