Skip to main content
Boy Yendra Tamin

follow us

Langkah dan Palangkahan

Oleh: Emral Djamal Dt. Rajo Mudo

Masa depan memerlukan kematangan perencanaan, perkiraan, dan perhitungan dalam suatu kerangka analisa yang tepat.Mengambil pelajaran dari pengalaman masa lalu, menuju kiprah masa depan yang lebih baik, adalah atas keputusan kualitas akal masa kini.Ini semua merupakan proses yang berjalan secara alami, menurut kaidah-kaidah hukum alam, hukum adat yang tidak memaksakan kehendak sendiri.

Akal Budi

Akal, (aka, minang) merupakan kekuatan cahaya gaib yang ada pada manusia. Berfungsi sebagai alat anatomis tubuh ruhani yang menjadi pusat pengendalian diri. Pusat penentu strategi dan kebijakan hidup dan kehidupan. Membaca, menganalisa dan memproses sejumlah gejala dan fenomena alam untuk kemudian disari, dirumuskan, dan dituangkan dalam acuan-acuannya.

Akal sebagai zat merupakan cahaya yang ditanamkan Tuhan dalam hati manusia, lalu disebut cahaya hati. Sebagai cahaya terang bersifat menjalar, lalu merambat sampai ke otak. Sinarnya merangsang penggerak fikiran untuk bergetar dalam vibrasinya, menerangi dan menjalani yang gaib-gaib menuju hakekat dengan mendapatkan bukti-bukti dan tanda.

Spektrum cahaya yang memancar dari fikiran-fikiran itu akan ber fungsi sebagai pembeda bagi manusia. Pembeda baik dengan buruk, pembe da hitam, putih, merah, kuning, dan hijau serta lainnya. Maka banyak manu sia di tentukan derajatnya oleh kualitas akal, dan kemampuannya memper gunakan akal. Dan ini meliputi fikiran-fikiran dalam berbagai bentuk dan warnanya. Akal tidak berdiri sendiri tanpa fikiran. Oleh karena itu kedua nya selalu disebut bersamaan sebagai akal-fikiran. Ia merupakan potensi kecerdasan (brain strength), sehingga akal-fikiran selalu menjadi ukur jang ka tertinggi untuk kadar kualitas

keberagaman manusia.

Orang yang pandai mempergunakan akal-fikirannya di Minangka bau disebut Cati Bilang Pandai (Ceteria, candokio, kesatria terbilang pan dai) “Candokio” (cendekia) dan “Pandai Aka”, disingkatkan sebutannya menjadi “Pandeka”.

Akal dalam pengetahuan tradisi digambarkan sebagai pohon yang tumbuh bercabang dan berdaun, disebut “pohon akal”. Sebagai pohon, akal bisa mati, disebut “mati akal”, mati aka. Bila daun-daun akal mati muda, disebut “mati pucuk.”. Oleh karena itu dahan-dahan dan cabang-cabang dari pohon akal haruslah dipelihara ke arah pertumbuhan yang baik. Proses pertumbuhan yang baik menunjukkan tahap langkah-langkah tertentu yang berjalan menurut alur-patut.

malangkah manuruik alue,

bajalan manuruik patuik

Alur yang patut ini, menjadi lebih rasional bila disebut sebagai pola fikiran, atau alur pikiran. Ini semua disebut “alur adat”. Alur adat dari akal fikiran inilah yang harus diisi, dipenuhi ketentuan-ketentuannya. Kalau tidak maka terjadilah benturan akal, yakni aka tatumbuak, karenanya harus ada inisialtif untuk membelokkan akal.

tatumbuak langkah diganjua suruik,

tatumbuak jalan baliak ka pangka jalan.

tatumbuak biduek di kelok-kan

tatumbuak aka dipikiri,

Apabila terjadi pembiaran terhadap akal yang tertumbuk ini, maka lama-lama bias terjadi “mati akal” atau “mati pucuek”, dimana akal fikiran tidak berfungsi lagi, tidak tumbuh berkembang, tidak kreatif, atau “buntu utak”. Manusia yang tidak memelihara akalnya akan “bingung”, “ling lung”, “tele”. Generasi sekarang mengukapkannya dalam sepatah kata kias “barangin”. Lalu kalau sudah tua disebut “pikun”.

Penyimpangan akal fikiran dari nilai-nilai kebenaran, sering disebut urang indak bautak,atau utaknyo ka ampu kaki, atau utaknyo ka pangka langan. Hal ini karena adat akal itu tidak diisi sesuai dengan petuahnya, “adat diisi limbago dituang”. Hal ini terjadi akibat pembiaran akal berjalan sendiri menurut nafsunya, menurut nalurinya saja. Akal fikiran tidak mendapat bimbingan yang terkendali menurut alurnya.

Akal memiliki sifat selalu bergerak, bergetar, dan menjalar dalam men cari sesuatu nilai dengan segala ikhtiar apapun juga. Ia perlu dikontrol dan diawasi supaya tidak menyimpang dari alur adat yang lurus. Ia merupakan akal kreatif yang perlu dibina, dipelihara dan didorong partumbuhannya. Sifat menjalar ini disebut intuisi, yakni dorongan yang mengantar kepada kedalaman sesuatu yang tak mampu dicapai oleh akal. Bersumber dari garak garik, detak detik hati atau gerak bolak balik dalam hati, disebut budi. Yang menjadi sebab-sebab kemuliaan seseorang. Tergantung dan berasal dari budi ini. Oleh karena itu akal selalu berpasangan dengan budi, disebut bergandengan, yakni akal budi.

Emral Djamal Dt. Rajo Mudo

Spesial Untuk Anda:

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar