Skip to main content
Boy Yendra Tamin

follow us

Konflik Pemikiran Dalam Cerpen Pengarang Etnis Minangkabau (Bagian Kedua)

Oleh: Endut Ahadiat
Universitas Bung Hatta

Konflik Pemikiran Pengarang Etnis Minangkabau
Konsep Harga Diri

Konsep harga diri ini merupakan salah satu konsep kultural yang penting dalam masyarakat Minangkabau. Mereka memegang teguh konsep harga diri ini dan selalu berusaha membangun dan memeliharanya karena sesuai dengan falsafah yang mengajarkan kepada mereka bahwa unsur-unsur alam tidak saling melenyapkan. Hal itu menyebabkan hubungan antarmanusia dipandang secara demokratis oleh orang Minangkabau, duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. Mereka selalu berusaha menjadi sama dengan orang lain. Pantang bagi orang Minangkabau untuk menjadi rendah atau dipandang rendah. Kecenderungan seperti itulah yang membuat orang Minangkabau memegang teguh konsep harga diri.

Keinginan seseorang untuk menjadi berarti dan dianggap penting atau setidaknya menjadi sama dengan orang lain didukung oleh ego manusia. Sesuai dengan pendapat Navis (1984: 63), ego inilah yang memotivasi orang Minangkabau untuk hidup dalam persaingan secara terus-menerus. Persaingan itu dilakukan orang Minangkabau demi harga diri yang diinginkannya tadi. Harga diri terwujud dalam kemuliaan, kenamaan, kepintaran, kekayaan, dan menjadi sama dengan orang lain inilah yang diinginkan oleh orang Minangkabau. Nilai tersebut dicapai dari persaingan dalam melawan dunia orang lain. Orang Minangkabau beranggapan bahwa jika orang lain mampu, tentu mereka pun juga mampu. Begitu juga sebaliknya, jika mereka mampu, tentu orang lain pun juga mampu.


Si kekar mendongakkan kepalanya seraya memandang sekeliling alam di padang itu. Lalu katanya seraya menghentikan langkahnya, “Di sini saja.”

Si kurus pun menghentikan langkahnya. Masih menekur juga dia. Keduanya kini tegak berhadapan, seperti dua orang yang mau mengatakan sesuatu yang lama sudah disimpan.
“Mestinya dia ini tidak perlu aku bawa ke sini. Aku cari saja preman. Suruh ajar dia ini. Habis perkara,” kata si kekar. “Sialnya aku lancang mulut mengajaknya berduel malam ini.”

Cahaya kilat memancar lagi. Jauh di balik bukit seberang ngarai yang lebar itu. Redup, seperti tak bertenaga. Lalu kata si kekar dengan suara redup seperti kilat itu: “Tak pernah selama ini aku mengangankan datang kemari bersamamu. Apalagi malam begini. Nyatanya kita kemari juga. Kau tahu mengapa?”

Si kurus mengangkat kepalanya, seraya memandang ke arah kepala si kekar. Lalu katanya dengan suara yang gersang. “Maumu kan?” Tetapi dalam hatinya dia berkata: “Kau tahu kau kekar dan kuat. Kau jadi berani membawa aku ke sini. Tetapi aku punya harga diri. Sekali aku kecut, seumur hidup aku kau lecehkan.” (Navis, “Dua Orang Sahabat”, 2000:120)

Setiap individu dianugrahi ego oleh Yang Mahakuasa. Ego yang dimiliki oleh manusia itu membuahkan ambisi dan persaingan antarmanusia. Persaingan tersebut pada akhirnya dapat berubah menjadi pertarungan untuk saling mengalahkan. Pertarungan tersebut mengakibatkan terjadinya disharmoni sosial yang tentu saja tidak sesuai dengan falsafah hidup orang Minangkabauyang menjadikan alam sebagai guru itu. Untuk menghindari kemungkinan tersebut, masyarakat Minangkabau membuat suatu hokum dan aturan yang mengikat setiap individu agar tetap terkendali. Selain hokum dan aturan tersebut, masyarakat Minangkabau juga mengembangkan berbagai petatah, petitih, pituah (petuah), dan mamangan adat yang mengarah pada anjuran agar orang menjadi tahu diri dan mawas diri (Navis, 1984: 63).

Petatah dan sejenisnya itu perlu diberikan untuk ditanamkan pada masyarakat Minangkabau bahwa persaingan itu perlu ada, tetapi keselarasan untuk menjaga keseimbangan pun sama pentingnya. Navis (1984: 63), memberikan satu contoh petuah yang paling penting dalam menjaga kesimbangan itu, yakni kurang sio-sio, labiah ancak-ancak (kurang adalah sia-sia, berlebih adalah kegilaan). Petuah itu memiliki makna bahwa orang yang berkekurangan dipandang sebagai makhluk yang sia-sia, tetapi adalah suatu kegilaan jika menggangap diri lebih dari orang lain.

Lebih jauh lagi, Navis (1984: 64) mengibaratkan posisi orang besar di mata orang kecil seperti pohon beringin, yakni daunnyo tampek balinduang, batangnyo tampek basanda, dahanyo tampek bagantuang, ureknyo tampek baselo (daunnya tempat berlindung, batangnya tempat bersandar, dahannya tempat bergantung, akarnya tempat bersila). Namun, orang kuat pun harus tahu diri karena sesuai dengan petuah yang mengajarkan bahwa kok kayo, urang indak ka mamintak; kok cadiak, urang indak ka batanyo; kok kuaik, urang indak ka balinduang; kok baga, urang indak ka baparang (jika kaya, orang tidak akan meminta; jika pintar, orang tidak akan bertanya; jika kuat, orang tidak akan berlindung; jika berani, orang tidak akan berperang). Petuah itu memiliki makna bahwa bagaimana pun kuat dan besarnya seseorang, orang kecil dan lemah tidak akan mau merendahkan diri kepadanya.

Konsep Malu

Falsafah hidup orang Minangkabau mengajarkan bahwa seseorang itu dengan bersama dan bersama untuk seseorang. Seluruh persoalan yang timbul dalam kehidupan berdasarkan pada dan berputar di sekeliling masalah seseorang dengan bersama, bersama dengan seseorang. Hal itu menjadi dasar bagi orang Minangkabau untuk mengatur kehidupannya di dalam masyarakat. Prinsip bersama dari masyarakat Minangkabau itu juga tertuang dalam konsep malu. Menurut Nasroen (1971), dalam masyarakat Minangkabau ada malu yang belum berbagi. Jadi, perasan adalah bersama. Sesuai dengan apa yang dinyatakan dalam adat bahwa kok tanah nan sabingkah alah bapunyo, kok rumpuik nan salai alah bapunyo, malu nan alun babagi (Jika tanah yang sekeping sudah ada yang punya; jika rumput yang sehelai sudah ada yang punya; malu belum lagi dibagi).

Hal ini sejalan dengan pandangan Navis (1984), bahwa merasa diri kurang berharga merupakan kesia-siaan, sebaliknya merasa diri lebih berharga daripada orang lain adalah kegilaan. Akan tetapi, harga diri yang jatuh merupakan aib yang memalukan. Perbuatan yang menimbulkan aib yang memalukan tidak saja mengakibatkan harga diri jatuh, tetapi juga membuat seseorang dipandang rendah oleh orang lain, baik di lingkungan kaumnya sendiri maupun pada orang lain yang berada di luar lingkungan kerabatnya. Hal itu merupakan aib yang tidak termaafkan, yang akan menampar muka semua kaum kerabat.

Merendahkan diri pada diri orang lain adalah malu yang tidak dapat ditebus, tidak dapat dibayar, dan bahkan, tdak dapat dibagi Orang Minangkabau pantang untuk mendapat malu, tetapi apabila malu itu disebabkan harga diri yang dijatuhkan oleh orang lain, misalnya dalam bentuk penghinaan, wajib bagi mereka untuk melakukan pembalasan. Akan tetapi, jika yang melakukan hinaan itu terlalu kuat untuk dilawan, harus dicari cara lain untuk membalaskan penghinaan tersebut. Tidak sanggup dengan cara kekerasan, cara halus pun dianjurkan untuk dilakukan oleh orang yang dihinakan itu.

Si kekar membuka mantel hujannya tenang-tenang. Disangkutkannya pada ranting belukar beberapa langkah dari tempatnya. Sambil melangkah digulungnya lengan panjang kemejanya. Selesai yang kiri, lalu yang kanan. Juga dengan tenang. Tetapi ketika dilihatnya si kurus masih terpaku pada tempatnya berdiri, dia berkata lagi, “Mengapa tak kau buka mantelmu? Kau menyesal?”
“Apa pedulimu?”
“Baik,” kata si kekar sambil menyelesaikan menggulung lengan kemejanya. Kemudian dia kepalkan tinjunya sambil menyurutkan langkah melangkah. Siap untuk berkelahi. Tiba-tiba dia lihat sesuatu yang berkilat di tangan si kurus. “Apa itu?” tanyanya.
“Pisau,” jawab si kurus tegas.
“Oh. Kau berpisau?” tanya si kekar seraya menyurutkan kakinya selangkah lagi.
Tak ada jawab si kurus.
“Kalau pakai pisau, aku tidak sanggup,” kata si kekar.
“Kencing kau,” carut si kurus untuk menghina.
Si kekar kehilangan nyali. “Kalau aku tahu kau bawa pisau...” Dan angin bertiup lagi. Dedaunan berdesauan pula. Kini seperti bersorak girang atas kemenangan orang kecil atas keangkuhan orang besar.
Lama kemudian si kekar berkata lagi, tetapi dengan suara yang kendur. “Aku orang terdidik. Terpandang pada mata masyarakat. Aku tidak mau mati terbunuh oleh sahabat karibku sendiri. Tak aku sangka, kau mau membunuhku.”
“Mestinya aku ludahi wajahmu. Tetapi apa gunanya menghina orang yang kalah?” kata si kurus dalam hati. Seketika ada pikiran yang mengganggunya, bagaimana kalau si kekar jadi pemenang. “Pasti seperti pemenang pada perang saudara.”
“Maksudku, hanya ingin menyelesaikan persoalan antara kita. Bukan untuk berbunuh-bunuhan. Karena kita bersahabat karib,” kata si kekar dengan suara lirih.
Si kurus membalikkan badannya. Lalu melangkah ke arah mereka datang tadi. Tidak tergesa-gesa. Juga tidak pelan. (Navis, “Dua Orang Sahabat”, 2000:212-2)

Bagi orang Minangkabau ada satu keyakinan bahwa ketidaksanggupan membalaskan malu yang diakibatkan oleh penghinaan orang lain menjadi motivasi bagi mereka untuk mencapai kemajuan dan menjaga harga diri. Rasa malu tersebut menjadi pendorong mereka untuk membuktikan kepada orang yang lebih kuat bahwa mereka pun mampu mempertahankan harga diri mereka. Akibat positif dari rasa malu itu dapat dilihat dari persaingan dan perlombaan untuk memajukan kaum keluarga dan kaum kerabat. Misalnya dalam hal pendidikan.

Orang Minangkabau akan berlomba-lomba menyekolahkan anak mereka ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi meskipun untuk itu mereka harus bekerja keras dan mengorbankan apa saja untuk kemajuan anak mereka. Mereka meyakini bahwa perasaan malu merupakan dinamika untuk maju dan tidak ketinggalan dari orang lain, baik secara perseorangan maupun bersama. Perasaan malu itu tidak bersifat negatif yang akan menimbulkan perasaan dengki, putus asa, dan lain-lain. Malu adalah sikap positif yang membangkitkan usaha lebih besar untuk mengurangi ketertinggalan dari orang lain dan juga mempunyai unsure pedagogis bagi seseorang atau pergaulan hidup tertentu. ( Bersambung ke : Bagian Ketiga )

Spesial Untuk Anda:

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar