Skip to main content
Boy Yendra Tamin

follow us

Pers Nan Membathin

Catatan Pinto Janir

"Tapi lembaga pers bukan 'grup band'. Grup band yang laku keras, rata-rata pemainnya memiliki tingkat kesejahteraan yang sama. Hebat grupnya, kaya pemainnya. Dan pembagian hasil kerja pada sebuah grup band 'jelas' dan adil. Tak ada terdengar, grup band laku, pemain gitarnya kere, atau vokalisnya miskin. "

Kata industri lengket dengan mesin tak terpisahkan dengan materi. Wujudnya aktif. Ia memproses, mengolah barang menggunakan sarana dan peralatan melalui kekuatan mesin.

Pers adalah industri. Itu benar!

Pers adalah institusi penerbitan media massa. Kata Pers berasal dari kata Belanda. Press bahasa Inggrisnya. Presse bahasa Perancisnya. Bahasa latinnya perssare, dasarnya premere. Artinya ialah 'tekan' atau 'cetak'.Begitulah etimologisnya. Terminologisnya adalah "media massa cetak".

Media massa itu adalah salah satu sarana komunikasi antar manusia untuk menyampaikan dan menyebarkanluaskan pesan. Muatan pesan pasti kabar. Jenis kabar beragam-ragam. Ada kabar 'informatif'.Ada kabar edukatif. Ada kabar sosial. Ada kabar spiritual. Ada kabar 'hiburan'. Kabar itu berwarna-warna; mirip pelangi. Ada kabar positif.Ada kabar negaitf. Ada kabar memintarkan.Ada kabar membodohkan.

Inti media itu pesan Ia penyampai pesan pada massa. Massa adalah penerima. Penerima pesan itu tadi. Tanggapan penerima atas pesan yang sampai, biasanya beragam-ragam. Tergantung cakrawala. Tergantung kecerdasan massa.

Terjadi sesuatu, atau perubahan sikap dan pandangan terhadap massa setelah menerima 'pesan' itu, adalah tanggung jawab media 'pengirim' pesan.

Sudah jelas dalam kira-kira bahwa media massa sangat berpotensi besar membentuk dan mengendalikan cita rasa massa dan kebudayaan. Dia bisa menjadi mesin utama penggerak revolusi sosial, budaya dan lain sebagainya. Dia menjadi salah satu alat ampuh mempropaganda massa. Ketika 'pesannya' mengena dan sampai pengaruhnya menjalar pada perubahan sikap dan tindakan serta pandangan. Saat itu ia menjadi terdepan. Ia menjadi pemimpin.Pemimpin opini!

Setelah itu, berkata dia saja lagi.

Kini kita berada di ruang hebat. Hebat teknologi. Untuk menyampaikan pesan tak hanya dengan mesin cetak. Di bawah tudung langit internet, pesan bisa dengan lekas sampainya. Internet menjadi media sosial paling jitu. Popularitasnya sering mengalahkan media cetak, media televisi dan radio.

Mengirim kabar berita tak hanya dilaksanakan oleh wartawan, wargapun bisa. Para netizen, para blogger, para youtuber berpacu-pacu berkirim 'pesan'. Bila mereka 'mencuat' di internet, maka media cetak dan televisi ramai-ramai menikam jejaknya.

Maka yang membedakan netizen dengan wartawan itu hanya soal kartu. Yang satu memegang kartu tanda penduduk (KTP) dan yang satu memegang kartu pers.

Dan orang yang mampu membentuk opini adalah orang cerdas yang pintar menulis. Saat itu ia akan menjadi seorang propagandis ulung.

Tapi eksistensi wartawan pintar akan sulit tergeser oleh netizen. Wartawan adalah skill. wartawan adalah profesi. Wartawan adalah pengetahuan. Wartawan adalah 'pengalaman'.

Wartawan sejati tak akan pernah pudar. Tak pernah luntur. Karena ia terus 'berproduksi' melahirkan kabar, menuliskan pikiran, dan eksis dalam kehidupan sosial. Kekayaan materinya adalah tulisan dari kumpulan pikiran cerdas yang mencerahkan.

Tulisannya menjadi industri yang mengolah fakta,data, pikiran. Tujuannya beragam-ragam. Setiap apa yang dituliskan atau setiap apa yang dilakukan, tentulah ada alasan yang menjadi dasar. Alasan, ada yang standar, klasikal dan elegan. Tulisan tanpa alasan, tulisan tanpa tendens (tapi tidak tendensius) jatuhnya hambar.

Industri pers kini bak sebuah pacuan. Berpacu-pacu mengejar berita. Dan berpacu-pacu 'meraup' materi. Persaingan dunia pers makin sengit, alot dan tajam. Ibarat musik, iramanya bermacam-macam. Ada pop.Ada dangdut. Ada jazz.Ada rock. Ada tradisional. Ada kontemporer. Pers Pop.Pers Dangdut. Pers Rock, Pers Jazz.Pers altenatif.

Ibarat grup band itu, para pemainnya harus pintar. Harus hebat. Harus benar-benar menguasai 'musik'.

Tapi lembaga pers bukan 'grup band'. Grup band yang laku keras, rata-rata pemainnya memiliki tingkat kesejahteraan yang sama. Hebat grupnya, kaya pemainnya. Dan pembagian hasil kerja pada sebuah grup band 'jelas' dan adil. Tak ada terdengar, grup band laku, pemain gitarnya kere, atau vokalisnya miskin.

Bagaimana dengan pers kita?

Lembaga-lembaga pers yang kaya-kaya, masih belum menghargai wartawannya dengan berbagai tingkat kesejahteraan yang pantas. Bahkan, masih ada para wartawan yang tak bergaji. Mirisnya, gaji mereka tergantung komisi iklan. Ini senewen namanya. Kalau dipikir-pikir benar, apa pula hubungan tugas wartawan dengan tugas pencari iklan.

Maka salah satu trend per-pers-an yang tumbuh di Indonesia adalah 'wartawan iklan'. Ini tampaknya sering ada pada lembaga pers 'kecil'. Tapi, bahkan pada lembaga pers 'besar' wartawannya juga ada dibebani tugas plus mencari iklan.

Terkadang ini yang membuat saya sedih. Sejak remaja-remaja saya sudah menggeluti dunia wartawan, hingga kini saya masih tetap menulis. dari mencari berita hingga menjadi 'pemimpin berita' (pemimpin redaksi) sudah saya coba. Mulai dari mendirikan surat kabar hingga membidani salah satu pendirian stasiun televisi lokal sudah saya lakukan.

Saya adalah salah seorang wartawan yang menikmati fasilitas pendidikan atau pelatihan yang diberikan oleh Deppen (departemen penerangan yang sudah dihapus) hampir tiap tahun.

Saya sedih tapi tidak mampu menangis. Sedih menyaksikan para insan wartawan yang bekerja '28 jam' tapi tak sesuai dengan gaji yang ia dapatkan. Risiko kerja berat, perlakuan penggajian kurang kena.

"Kalau ingin kaya, jangan jadi wartawan!" kalimat ini klassik sekali. Klise benar. Sudah lama saya mendengarnya.

Saya setuju dengan ini. Karena menjadi wartawan adalah pilihan. Pilihan untuk meraih kepuasan bathin atau immaterial. Kekayaan wartawan adalah 'karya'.Karya jurnalistik. Tapi tak sedikit wartawan yang kaya karena jurnalistik.

Tapi banyak pula wartawan yang kerja di pers 'raksasa' tapi tetap hidup 'sederhana'.

Ada perlakuan 'pincang' yang membuat saya tak ngerti. Seorang wartawan yang kerja di perusahaan surat kabar besar dan berada di top redaksi, mulai dari Pimred hingga redaktur pelaksananya, gajinya jauh beda dan berselisih tajam dengan wartawan yang berada di lapangan. Seorang Pimred surat kabar harian yang mapan, gajinya bisa mencapai Rp 10 juta atau lebih. Tapi sayang, gaji wartawannya masih ada yang berkisar Rp 1 juta hingga Rp 2 juta. Dalam sulit ekonomi begini, bagaimana pula caranya hidup dengan gaji Rp 2 juta itu. Pada akhirnya, konsen pada berita tergaduh dengan tugas 'terpaksa' cari iklan.

Pada kenyataan ini sering saya mendengar : "wartawan penghasilannya kecil, pendapatannya gede".

Begitulah dunianya. Dunia ajaib terkadang rupa.

Wartawan yang benar-benar menjadi wartawan karena panggilan jiwa, maka apapun yang terjadi, ia akan tetap memilih hidup untuk jadi wartawan. Tapi banyak juga orang yang menjadikan diri sebagai wartawan untuk hanya sekedar jembatan atau batu lompatan mencari koneksi.

Begitu koneksinya konek (terhubung) ia berpindah ke lembaga lain atau ke perusahaan lain yang tak ada sangkut pautnya dengan dunia kewartawanan. Sebagian ada juga yang melompat ke dunia lain, tapi masih tetap tak bisa meninggalkan dunia kepenulisan dan pikiran.

Yah, wartawan adalah tugas berat profesi mulia.

Ya, wartawan adalah pejuang 'massa' yang terkadang mengabaikan kepentingan memperjuangkan diri dan kehidupan sendiri. Kehidupan wartawan adalah kehidupan 'bathiniah', yang tak jarang juga 'membathin' sendiri menghadapi kebutuhan hidup.

Ibarat lain, ia adalah tukang. Rumah orang selesai olehnya, rumahnya sendiri 'terbengkalai'.

Saya hanya berharap, semoga pada peringatan HPN di Lombok ini tolong-tolong juga dipercakapkan atau dibahas-bahas jugalah tentang 'penggajian wartawan' dan 'keterampilan jurnalistik' dan 'perlindungan wartawan' untuk lebih profesional bekerja.

Trend dunia sekarang adalah ketika tidak lengkap kekayaan seorang kaya sebelum mendirikan perusahaan pers atau media massa. Orang-orang kaya sangat berkehendak memiliki usaha pers. tujuannya beragam-ragam. Mulai dari kepuasan bathin, eksistensi diri, propaganda bahkan untuk menambah kekayaan dengan bisnis pers.

Ya, pers itu industri. Tiap industri, capaiannya adalah bisnis. Yang membedakannya adalah 'kadar'. Kadar semata bisnis dan kadar sosial.

Ibarat sebuah baju, baju pers sudah kecil. Tak muat lagi. Ketika orang ramai-ramai ingin punya surat kabar, timbul pertanyaan; " siapa wartawannya dan bagaimana melahirkan wartawan".

Karena ilmu wartawan adalah kepandaian praktis, kita memang bisa melahirkan wartawan-wartawan baru dengan berbagai pelatihan dan 'akademi'. Tapi wartawan yang hebat itu biasanya bukan dilahirkan, ia muncul dari 'sebuah' ruang pada suatu waktu. Wartawan hebat itu adalah wartawan yang ditakdirkan menjadi wartawan. Pintar.Cakap menulis. Santun. Dan rendah hati. Penampilannya 'low' karyanya 'high'. Penampilannya biasa, beritanya 'menggemparkan' dan mengubah cita rasa.

Karena orang 'kaya' butuh media, maka dunia wartawan menjadi benar-benar dunia 'handal' untuk kehidupan. Banyak orang butuh pemimpin media. Banyak orang butuh wartawan. Tapi, orang yang banyak butuh itu seharusnya juga menenggang kebutuhan wartawan dengan layak.

Jangan mau menjadi wartawan di perusahaan pers besar kalau digaji 'kecil'. Mendingan dirikan perusahaan pers sendiri. Paling tidak menjadi netizen sajalah.Menjadi warga yang selalu berkabar berita!

Wartawan itu sikap. Wartawan itu pilihan hidup. Orang yang memiliki kemampuan tak pernah gamang untuk hidup.

Mari kita ciptakan Pers industri pikiran, pers industri akal, pers industri hati; bukan semata pers industri 'mesin'. Karena kita bukan mesin yang selalu 'dikuras'.Dan kita bukan kuda pelajang bukit 'perusahaan'.

Wartawan yang wartawan adalah pejuang. Mari kita terus berjuang menyuarakan pikiran, menyuarakan hati, menyuarakan akal (kebenaran) untuk kehidupan sosial dalam memperbaiki sikap rusak menuju sikap baik, bukan sebaliknya.

Caranya, kalau apa yang kita pikirkan, apa yang kita tulis, apa yang kita beritakan, terhambat oleh kepentingan "pengusaha atau pemilik pers' maka siap-siaplah berkemas untuk mendirikan penerbitan sendiri. Di internet; tempatnya luas!

Dan selamat Hari Pers !

Spesial Untuk Anda:

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar