Skip to main content
Boy Yendra Tamin

follow us

Good Governance Dalam Kepemimpinan Tungku Tigo Sajarangan Pada Masyarakat Adat Minangkabau

Ada nilai-nilai Kepemimpinan di Minangkabau yang menarik dalam kaitannya dengan Good Governance

Oleh: Fardi WInaldi, SH

Masyarakat adat Minangkabau tidak saja unik dengan garis keturunannya yang menganut sistem matrilineal dan begitupun sistem pemerintahan nagarinya, tetapi juga pada sistem kepemimpinannya. Membahas soal kepemimpinan di Minangkabau, maka tidak bisa dilepaskan dari konsep Tungku Tigo Sajarangan (tungku tiga sejarangan). Kekuasaan tertinggi dalam masyarakat Minangkabau adalah Tuah Sakato, yaitu: Hal-hal yang menjadi kesepakatan bersama. Artinya, segala sesuatu yang bersifat mengatur di dalam kehidupan masyarakat harus terlebih dahulu dimusyawarahkan untuk mendapatkan kata sepakat.

Tiga unsur pimpinan dalam masyarakat Minangkabau, yaitu : Penghulu, Alim Ulama, dan Cadiak Pandai (cerdik pandai). Ketiga unsur pemimpin inilah yang akan menyelesaikan segala persoalan sesuai dengan kedudukan dan fungsinya masing-masing dan hasil musyawarah itu selanjutnya dikukuhkan dalam suatu rapat yang dihadiri seluruh wakil masyarakat.

Berikut penjelasan tiga unsur pemimpin tersebut:

  • Penghulu

Penghulu adalah seorang laki-laki yang dituakan  dan ditinggikan serantiang, di dahulukan selangkah dalam sebuah suku di Minangkabau. Pengulu atau niniak mamak dalam kehidupan sehari-hari dengan panggilan Datuak. Dalam adat Minangkabau terhadap sosok penghulu diungkapkan dengan Gadang Nan Digadangkan, maksudnya adalah seorang penghulu dengan gelar Datuak oleh kemenakannya Didahulukan Salangkah Ditinggikan Sarantiang, artinya  niniak mamak lebih didahulukan dan diutamakan dalam berbagai hal terutama dalam urusan adat dan dalam memutuskan segala sesuatu dalam kaumnya.
  • Alim Ulama
Alim Ulama adalah sosok pemimpin masyarakat Minangkabau dalam urusan agama. keberadaannya dalam masyarakat sangat penting, sebagaimana diungkapkan dalam pepetah adat Minangkabau “Adat basandi syarak,syarak basandi kitabullah”. Dari pepatah adat MInangkabau itu dapat dipahami kedudukan Alim Ulama di Minangkabau sebagai pemimpin dibidang agama/Syarak. Sementara Penghulu pemimpinan dbidang adat. Dalam kehidupan sehari-hari Alim Ulama dipanggil dengan sebutan engku, ustadz, buya, syekh dan sebagainya.
  • Cadiak Pandai
Cadiak Pandai adalah orang yang memiliki keluasan pemikiran yang dapat mencari jalan keluar dari setiap masalah yang di hadapi masyarakat.memiliki ilmu pengetehuan umum yang luas ,anggota masyarakat yang dapat mengikuti perkembangan zaman,dengan keluasan pemikiran dan kemampuannya diharapkan dapat mengantisipasi segala yang terjadi ditengah masyarakat nagari.

Jika dilihat 10 (sepuluh) ciri atau karakteristik dari good governance menurut UNDP (United Nations Development Programs) di Minangkabau jauh sebelum organisasi itu terbentuk kesepuluh ciri itu telah lama dianut menjadi nilai dan tradisi yang menjadi karakteristik dalam sistem pemerintahan adat di Minangkabau,  sebagai berikut:

  • Adanya partisipasi masyarakat

Dalam masyarakat adat Minangkabau pertisipasi masyarakat sangat terlihat dari mengambil keputusan dengan mengunakan musyawarah untuk mufakat, keputusan/hukum tertinggi adalah kata sepakat serta semangat gotong royong dalam kehidupan bermasyarakat.
  • Adanya aturan hukum yang adil tanpa pandang bulu.
Penerapan hukum di Minangkabau adil dan tidak pandang bulu kepada seluruh unsur masyarakatnya, seperti yang diungkap dalam pepatah adat, sebagai berikut: “tibo di mato indak bapiciangkan, tibo didado indak babusuangkan, tibo di paruik indak bakampihkan”.
  • Pemerintah bersifat transparan.
Pemerintahan adat Minangkabau bersifat transparan, terlihat dari sistem demokrasi yang tergambar dalam musyawarah untuk mufakat yang melibatkan seluruh unsur masyarakat dengan bersifat terbuka
  • Pemerintah mempunyai daya tanggap terhadap berbagai pihak.
Pemerintahan sangat dekat dan tanggap kepada masyarakat, baik dari masyarakat manapun yang berada dalam lingkup pemerintahan adatnya
  • Pemerintah berorientasi pada konsesus untuk mencapai kesepakatan.
Budaya musyawarah untuk mufakat masyarakat Minangkabau yang telah menjadi adat dan kebiasaan dalam mengambil keputusan.
  • Menerapkan prinsip keadilan.
Pemerintahan selalau bersikap adil terhadap semua warga masyarakatnya tanpa pandang bulu.
  • Pemerintah bertindak secara efektif dan efisien.
Budaya efektif dan efisien tergambar dalam pemerintahan Minangkabau dalam sikap dan tindakan yang dilakukan.
  • Segala keputusan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik atau bersifat akuntabilitas.
Tentunya segala keputusan dapat dipertanggungjawabkan, karena keputusan itu berasal dari kesepakatan oleh unsur masyarakat, dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat.
  • Penyelenggaraan pembangunan bervisi strategis.
Setiap  penyelengaraan pembangunan dipastikan bervisi strategis untuk kemajuan pemerintahan dan kemakmuran masyarakat.
  • Adanya saling keterkaitan antar kebijakan.
Seluruh kebijakan akan saling berkaitan, bentuk komitmen dasar demi dan untuk kesejahterakan rakyat.

Demikianlah sepuluh ciri dan karakteristik yang ada dalam masyarakat adat Minangkabau jauh sebelum Organisasi United Nations Development Programs berdiri karakteristik tersebut telah terbentuk pada masyarakat adat Minangkabau. tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) guna menuju Good Govermance adalah tanggung jawab bersama berdasarkan peran dan fungsinya masing-masing.

Pada dasarnya, penerapan tata pemerintahan yang baik adalah pelayanan Publik yang lebih baik. Untuk mencapai cita-cita ideal tersebut, maka konsep Tungku Tigo Sajarangan yang mana notabennya pimimpin dalam masyarakat Minangkabau adalah Penghulu, Alim Ulama, dan Cadiak Pandai harus saling berkerjasama menjalankan peran dan fungsinya masing-masing, dari itu penulis mendapatkan entry point, diantaranya bahwa good governance dalam kepemimpinan Tungku Tigo Sajarangan pada masyarakat adat Minangkabau tidak mungkin tercapai apabila ketiga unsur pemimpin tersebut enggan untuk bekerja sama, apalagi jika saling menyalahkan tentulah konsep tungku tigo sajarangan tak lagi berjalan sebagaimana mestinya. Semua aspek saling terintegrasi dan tidak bisa dipisahkan, karena good governance merupakan sistem yang akan efisien jika elemen-elemennya bekerja koordinatif dan harmonis sesuai dengan mekanisme atau aturan yang menjadi kesepakatan dalam bentuk atauran yang berlaku. (mhss2ubh/dh1-ed)

Spesial Untuk Anda:

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar