Skip to main content
Boy Yendra Tamin

follow us

Perjanjian Kawin Tidak Perlu Dicatatkan

Oleh: Zul Fadli, S.H., M.Kn.

Penulis adalah Notaris dan Founder Lingkar Kenotariatan

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (Putusan MK) Nomor 69/PUU-XIII/2015, ketentuan perjanjian kawin yang terdapat dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU 1/1974) mengalami perubahan.  Hal yang menarik dari Putusan MK itu, pertama, perjanjian kawin bisa dibuat selama dalam ikatan perkawinan atau setelah dilaksanakannya ijab dan qobul. Sebelum Putusan MK, Pasal 29 ayat (1) UU 1/1974 mengatur perjanjian kawin hanya dibuat sebelum atau pada saat dilangsungkannya Perkawinan.

Kedua, dulu perjanjian kawin hanya bisa disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, namun kini dengan mendalilkan pada Putusan MK tersebut, perjanjian kawin dapat pula disahkan oleh Notaris. Perubahan norma perjanjian kawin yang terdapat dalam UU 1/1974 diubah oleh MK dengan jalan melakukan tafsir konstitusional.

Tafsir Konstitusional 

Menurut Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945, MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: a. menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, c. memutus pembubaran partai politik, dan d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Kewenangan menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar juga diatur dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentanh Mahkamah Konstitusi, dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Berdasarkan kewenangan uji materil Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, MK memutuskan suatu ketentuan dalam Undang-Undang sejalan atau tidak sejalan dengan Konstitusi, konstitusional atau inkonstitusional. Berdasarkan kewenagan ini pula, MK disebut sebagai negative legislator yang artinya MK hanya bisa memutus sebuah norma dalam Undang-Undang bertentangan konstitusi atau tidak, tanpa boleh memasukan norma baru ke dalam Undang-Undang.

Namun dalam perkembangan praktiknya, dengan kewenangan tersebut, MK tidak hanya menghapuskan suatu ketentuan Undang-Undang, akan tetapi juga membuat aturan baru dengan cara melakukan tafsir konstitusional. Tafsir konstitusional ini bisa berupa putusan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) atau inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional).

Melalui dua model putusan tersebut, MK bisa merubah atau membuat norma baru. Putusan MK dalam bentuk konstitusional bersyarat pertama kali diputuskan pada Putusan MK Nomor 10/PUU-VI/2008. Putusan MK ini memutuskan mengenai persyaratan peserta Pemilu Anggota DPD, “bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia” yang terdapat pada Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pemilu Legislatif).

Oleh MK, ketentuan Pasal 12 huruf c UU Pemilu Legislatif diputuskan “konstitusional dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai memuat syarat domisili di provinsi yang akan diwakili”. Artinya, MK telah merubah syarat tempat tinggal menjadi lebih spesifik, tidak hanya bertempat tinggal di Indonesia, akan tetapi peserta Pemilu Anggota DPD harus pula berdomisili pada provinsi yang akan diwakili.

Kemudian, model putusan inkonstitusional bersyarat pertama kali terdapat pada Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009 tanggal 24 Maret 2009 tentang pengujian Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g UU Pemilu Legislatif dan Pasal 58 huruf f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Dalam ketentuan tersebut, salah satu syarat menjadi peserta Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD adalah “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;”.

Namun berdasarkan Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009 syarat itu dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar secara bersyarat dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak memenuhi syarat-syarat: (i) tidak berlaku untuk jabatan yang dipilih (elected officials); (ii) berlaku terbatas jangka waktunya hanya selama 5 (lima) hari sejak terpidana selesai menjalani hukumannya; (iii) dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan nara pidana; (iv) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.

Dengan putusan MK tersebut, ketentuan “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;” berubah menjadi seperti apa yang telah diputuskan MK.

Selain dua model putusan di atas, ada pula bentuk putusan MK yang mengubah norma undang-undang yang tidak menggunakan model putusan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) dan inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional), akan tetapi memutuskan dan menyatakan suatu norma Undang-Undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ..., dengan rumusan putusan tersebut, MK melakukan tafsir seperti apa seharusnya memaknai suatu ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang. Lagi-lagi, dengan model putusan semacam ini, MK bisa merubah norma yang tedapat dalam Undang-Undang.

Dalam Putusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015 tentang Perjanjian Kawin, MK menggunakan model putusan terakhir ini, sehingga aturan mengenai perjanjian kawin yang terdapat dalam UU 1/1974 berubah sesuai dengan apa yang telah diputuskan MK.

PERJANJIAN KAWIN

Perjanjian Kawin dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) diatur lebih lengkap daripada apa yang diatur dalam UU 1/1974. Dalam KUHPerdata ketentuan tentang perjanjian kawin diatur dalam Pasal 139 hingga Pasal 179. Berarti ada 40 Pasal dalam KUHPerdata yang mengatur mengenai perjanjian Kawin, sedangkan dalam UU 1/1974 hanya diatur oleh satu pasal, yakni Pasal 29 yang terdiri dari empat ayat.

Menurut Pasal 139 KUHPerdata, “Para calon suami-istri, dengan perjanjian kawin dapat menyimpang dari peraturan undang-undang mengenai harta-bersama, asalkan hal itu tidak bertentangan dengan tata-susila yang baik atau dengan tata-tertib umum, dan diindahkan pula ketentuan-keetentuan berikut.” Berdasarkan ketentuan ini, harta bersama bisa ditiadakan.

Namun menurut Pasal 144 KUHPerdata, “tidak adanya gabungan harta-bersama tidak berarti tidak adanya keuntungan dan kerugian bersama, kecuali jika hal ini secara tegas ditiadakan”. Artinya jika di dalam perjanjian kawin hanya tertuang kesepakatan meniadakan harta bersama, maka persatuan keuntungan dan kerugian antara suami dan istri terjadi secara yuridis, kecuali jika persatuan untung dan rugi ditiadakan pula dan dituangkan dengan tegas dalam akta perjanjian kawin.

Jadi jika ingin meniadakan persatuan harta benda secara mutlak, rumusan yang lazim digunakan dengan kalimat seperti ini: “Antara suami isteri tidak akan ada persekutuan harta benda dengan nama atau sebutan apapun juga, baik persekutuan harta benda menurut hukum atau persekutuan untung dan rugi maupun persekutuan hasil dan pendapatan.”

Selanjutnya, Perjanjian Kawin mesti dibuat dalam akta notaris sebelum perkawinan dilangsungkan, dan tidak dapat diubah kecuali disepakati oleh para pihak dan perubahan itu dilakukan sebelum dilangsungkannya perkawinan. kemudian berlakunya perjanjian kawin ialah pada saat perkawinan dilangsungkan (lihat Pasal 147 dan 148 KUHPerdata).

Lebih jauh lagi, KUHPerdata juga mengatur mengenai pendaftaran, pada Pasal 152 KUHPerdata, perjanjian kawin didaftarkan pada kepaniteraan pengadilan negeri di daerah hukum perkawinan dilansungkan atau jika perkawinan dilansungkan di luar negri maka pendaftaran perjanjian kawin di kepaniteraan pengadilan negeri tempat dicatatnya perkawinan. Guna pendaftaran perjanjian kawin ialah untuk mengikat ke tiga (Lihat Pasal 152 KUHPerdata).

Sebelum berlakunya UU 1/1974, ketentuan-ketentuan perjanjian kawin yang terdapat dalam KUHPerdata tentunya hanya berlaku bagi orang Eropa, Jepang, dan Tionghoa (Pasal 131 dan 163 Isdische Staatsregeling juncto Staatsblad 1917 Nomor 129), serta orang-orang yang melakukan penundukan diri (Staatsblad 1917 Nomor 12).

Sejak berlakunya UU 1/1974, maka seluruh ketentuan mengenai perjanjian kawin dalam KUHPerdata dinyatakan tidak berlaku lagi berdasarkan Pasal 66 UU 1/1974. Tidak hanya mencabut ketentuan perjanjian kawin dalam KUHPerdata, UU 1/1974 juga mengatur bagaimana seharusnya melaksanakan Perjanjian Kawin.

Pasal 29 ayat (1) UU 1/1974 mengatur waktu pembuatan perjanjian kawin, bisa dibuat sebelum atau pada saat dilangsungkan perkawinan. Kemudian, perjanjian kawin yang dibuat disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan. Berdasarkan norma ini, perjanjian kawin bisa dibuat dengan akta dibawah tangan maupun akta notaris, yang penting disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan. Disamping itu, atas kesepakatan para pihak, perjanjian kawin bisa diubah dalam masa ikatan perkawinan (Lihat Pasal 29 ayat (4) UU 1/1974).

Perbedaan ketentuan yang terdapat dalam KUHPerdata dan UU 1/1974: 1). KUHPerdata mewajibkan perjanjian kawin dituangkan dalam akta Notaris, sedangkan menurut UU 1/1974 tidak ada ketentuan yang mengharuskan dengan akta Notaris. 2). Perjanjian kawin menurut KUHPerdata hanya bisa dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan, sedangkan menurut UU 1/1974 perjanjian kawin bisa dibuat sebelum perkawinan maupun ketika perkawinan diselenggarakan.

Kemudian, 3). Perjanjian kawin di dalam KUHPerdata tidak bisa diubah pasca dilangsungkan perkawinan, sedangkan menurut UU 1/1974 bisa diubah asalkan disepakati kedua belah pihak dan tidak merugikan pihak ketiga. 4.) Agar mengikat pihak ketiga, maka perjanjian kawin harus didaftarkan pada kepaniteraan pengadilan negeri setempat, sedangkan menurut UU 1/1974 hanya mengatur mengenai pengesahan oleh pegawai pencatat perkawinan [Bersambung kebagian kedua klik disini]

Spesial Untuk Anda:

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar