Filsafat dan Filsafat Hukum: Suatu Telaah Filosofis tentang Makna dan Keadilan
Abstrak
Artikel ini membahas hubungan antara filsafat dan filsafat hukum sebagai upaya manusia mencari makna dan keadilan dalam kehidupan bersama. Filsafat dipahami sebagai sikap kritis-radikal terhadap realitas, sementara filsafat hukum adalah refleksi filosofis atas hukum dalam kaitannya dengan moralitas, kepastian, dan keadilan. Artikel ini menguraikan perkembangan filsafat hukum dari tradisi hukum alam, positivisme, realisme, hingga mazhab kritis kontemporer, serta menyoroti relevansinya terhadap tantangan era digital, lingkungan, dan pluralisme hukum Indonesia. Dengan memadukan pemikiran klasik (Plato, Aristoteles, Aquinas), modern (Kelsen, Rawls, Foucault), dan pemikir Indonesia (Satjipto Rahardjo, Jimly Asshiddiqie, Mochtar Kusumaatmadja), artikel ini menawarkan kerangka komprehensif yang dapat dijadikan rujukan akademik untuk kajian filsafat hukum di masa depan.
Kata kunci: filsafat, filsafat hukum, keadilan, hukum alam, positivisme, hukum progresif
Pendahuluan
Filsafat dan hukum sejak awal merupakan dua medan yang tidak terpisahkan. Filsafat lahir dari thaumazein (keheranan) manusia terhadap realitas, sementara hukum lahir dari kebutuhan praktis mengatur kehidupan bersama. Pertemuan keduanya melahirkan filsafat hukum, yakni refleksi kritis tentang hakikat, tujuan, dan nilai hukum.
Sebagaimana ditegaskan Satjipto Rahardjo (2002), “hukum itu tidak untuk dirinya sendiri, tetapi untuk manusia.” Oleh sebab itu, filsafat hukum hadir sebagai jembatan antara hukum positif dan keadilan substantif.
Artikel ini bertujuan (1) menjelaskan hakikat filsafat dan filsafat hukum, (2) menguraikan perkembangan aliran-aliran filsafat hukum, serta (3) menunjukkan relevansi kontemporer filsafat hukum dalam menjawab persoalan baru di era digital, lingkungan hidup, dan pluralitas hukum Indonesia.
Kajian Literatur
Filsafat sebagai Dasar Berpikir
Plato dalam Republic menempatkan keadilan sebagai ide tertinggi dalam masyarakat. Aristoteles kemudian mengembangkan gagasan keadilan distributif dan korektif (Nicomachean Ethics). Dalam era modern, Kant (1781/1998) menekankan kritik akal murni sebagai dasar filsafat.
Hukum sebagai Fenomena Filosofis
Cicero dalam De Legibus menyebut hukum sebagai right reason in agreement with nature. Sementara John Austin (1832) memandang hukum sebagai command of the sovereign. Hans Kelsen (1934/2005) mengembangkan teori hukum murni yang menegaskan validitas hukum melalui hierarki norma.
Pemikiran Indonesia
Mochtar Kusumaatmadja (1976) menekankan hukum sebagai sarana pembangunan. Satjipto Rahardjo (2002) memperkenalkan hukum progresif yang menempatkan manusia sebagai pusat hukum. Jimly Asshiddiqie (2005) mengingatkan perlunya keseimbangan antara kepastian, keadilan, dan kemanfaatan.
Pembahasan
Hakikat Filsafat Hukum
Filsafat hukum adalah cabang filsafat yang berfokus pada hakikat, tujuan, dan nilai hukum. Ruang lingkupnya mencakup:
- Ontologi hukum – apa hakikat hukum?
- Epistemologi hukum – bagaimana hukum dapat diketahui?
- Aksiologi hukum – apa tujuan hukum?
Aliran-Aliran Filsafat Hukum
- Hukum Alam – Aquinas menegaskan an unjust law is no law at all.
- Positivisme – Austin dan Kelsen menekankan kepastian hukum.
- Realisme – Holmes Jr. menyatakan the life of the law has been experience.
- Mazhab Kritis – Foucault menyoroti hukum sebagai instrumen kekuasaan.
Keadilan dalam Perspektif Filsafat Hukum
Plato memandang keadilan sebagai keteraturan fungsi sosial, Aristoteles membedakan keadilan distributif dan korektif. Rawls (1971) menawarkan justice as fairness sebagai keadilan modern.
Di Indonesia, Satjipto Rahardjo menolak legalisme sempit, menekankan bahwa keadilan substantif lebih utama daripada prosedur formal.
Relevansi Kontemporer
- Hak Digital – Lessig (1999) menegaskan code is law.
- Lingkungan – Stone (1972) mengajukan hak hukum bagi alam.
- Pluralisme Hukum Indonesia – hukum negara, adat, dan agama harus diselaraskan (Asshiddiqie, 2005).
Penutup
Filsafat hukum memperlihatkan bahwa hukum bukan sekadar teks undang-undang, melainkan refleksi nilai keadilan. Dengan memadukan tradisi klasik dan pemikiran kontemporer, filsafat hukum tetap relevan menghadapi tantangan baru.
Artikel ini menegaskan pentingnya menjadikan filsafat hukum sebagai kerangka normatif dan kritis bagi pengembangan hukum Indonesia. Dengan demikian, hukum dapat tetap berpijak pada kemanusiaan, keadilan, dan perubahan zaman.
Daftar Pustaka (APA 7th Edition)
- Aquinas, T. (1947). Summa Theologica. Translated by Fathers of the English Dominican Province. Benziger Bros.
- Aristotle. (2009). Nicomachean Ethics (W. D. Ross, Trans.). Oxford University Press. (Original work ca. 350 B.C.E.)
- Asshiddiqie, J. (2005). Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press.
- Austin, J. (1832). The Province of Jurisprudence Determined. London: John Murray.
- Cicero, M. T. (1999). On the Laws (De Legibus). Cambridge University Press.
- Foucault, M. (1975). Discipline and Punish: The Birth of the Prison. Vintage Books.
- Holmes, O. W. (1881). The Common Law. Boston: Little, Brown.
- Kant, I. (1998). Critique of Pure Reason (P. Guyer & A. Wood, Trans.). Cambridge University Press. (Original work published 1781)
- Kelsen, H. (2005). Pure Theory of Law (M. Knight, Trans.). Lawbook Exchange. (Original work published 1934)
- Kusumaatmadja, M. (1976). Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional. Bandung: Binacipta.
- Lessig, L. (1999). Code and Other Laws of Cyberspace. Basic Books.
- Plato. (1991). The Republic (A. Bloom, Trans.). Basic Books. (Original work ca. 380 B.C.E.)
- Radbruch, G. (2006). Legal Philosophy (K. Wilk, Trans.). Oxford University Press. (Original work published 1932)
- Rahardjo, S. (2002). Hukum Progresif: Sebuah Sintesa Hukum Indonesia. Semarang: Genta Publishing.
- Rawls, J. (1971). A Theory of Justice. Harvard University Press.
- Russell, B. (1945). A History of Western Philosophy. Simon & Schuster.
- Stone, C. (1972). Should Trees Have Standing? Southern California Law Review, 45, 450–501.