Skip to main content
Boy Yendra Tamin

follow us

Dari Bencana ke Bencana: Saatnya Dengar yang Lokal

 Dr. Boy Yendra Tamin

November 2025 mencatatkan duka mendalam bagi Indonesia. Siklon Tropis Senyar memicu banjir bandang dan longsor dahsyat di tiga provinsi Sumatera—Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Hingga awal Desember, 921 orang tewas dan 392 orang masih hilang. Dari total korban, menjadikan ini bencana paling mematikan sejak Tsunami Palu 2018. Dalam tiga hari pertama saja, 442 nyawa melayang.

Tragedi ini bukan sekadar soal cuaca ekstrem. Laporan awal menunjukkan bahwa wilayah terparah adalah kawasan yang mengalami deforestasi masif dalam dua dekade terakhir—hutan lindung yang dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit, area logging ilegal, dan permukiman tanpa kajian risiko memadai. Kawasan yang dulu dilindungi oleh norma adat kini terbuka lebar, dan konsekuensinya dibayar mahal dengan ribuan nyawa.

Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2024 tercatat 2.107 kejadian bencana menggunakan metodologi pencatatan baru. Namun bila menggunakan pendekatan pencatatan sebelumnya, angka ini mencapai 5.593 peristiwa—menunjukkan bahwa frekuensi bencana tetap tinggi meski cara penghitungannya berubah. Mayoritas adalah banjir, longsor, dan cuaca ekstrem, mempertegas tren lima tahun terakhir bahwa bencana hidrometeorologi kini menjadi pola tetap iklim Indonesia.

Namun frekuensi bencana bukan satu-satunya persoalan. Yang mengkhawatirkan adalah kenyataan bahwa pendekatan pengelolaan risiko masih berkutat pada pola yang sama: fokus pada respons darurat, bukan pembacaan akar risiko. Pemerintah menghitung kerusakan, memperbaiki jembatan, membagikan bantuan, lalu menunggu bencana berikutnya. Setelah bertahun-tahun, pola itu tidak kunjung menghasilkan perubahan berarti.

Padahal Indonesia bukan negeri yang baru belajar hidup dengan alam. Negeri ini dibentuk oleh ribuan komunitas yang hidup di bentang geografis keras: dataran banjir, lereng muda, sungai berbelok tajam, serta patahan aktif. Nenek moyang merancang cara hidup untuk menghadapi kondisi tersebut. Rumah panggung dibangun bukan karena estetika, tetapi karena pemahaman tentang watak sungai. Hutan larangan ditetapkan bukan karena romantisme, tetapi karena kesadaran ekologis yang teruji: tanah yang dibuka di titik tertentu akan meluncur jatuh menimpa desa.

Kearifan seperti itu dulu menjadi penyangga keselamatan. Tetapi ketika modernisasi datang—sering tergesa dan tidak peka konteks—pengetahuan lokal pelan-pelan tersingkir. Di Aceh dan Sumatera Barat, misalnya, kawasan hutan adat yang dulu dilindungi secara turun-temurun kini dibuka untuk perkebunan dan permukiman. Tata ruang diperluas melebihi batas alami, lereng dibuka untuk permukiman, dan pola hidrologis yang sudah dipahami secara turun-temurun diabaikan. Kemudahan perizinan lahan yang diatur dalam UU Cipta Kerja, misalnya, justru memperparah risiko karena proses audit ekologis yang tidak memadai. Akibatnya, kemampuan membaca tanda alam melemah, sementara risiko meningkat—dan bencana November 2025 adalah bukti paling nyata dari kegagalan sistemik ini.

Di titik ini, diperlukan keberanian untuk mengubah cara pandang. Indonesia tidak hanya membutuhkan teknologi baru, tetapi juga paradigma baru dalam mengelola risiko bencana: paradigma yang mengembalikan pengalaman panjang masyarakat lokal sebagai bagian integral dari tata kelola kebencanaan nasional.

Kearifan Lokal Bukan Nostalgia

Dalam banyak perdebatan, kearifan lokal sering dianggap kuno atau tidak ilmiah. Padahal sejumlah penelitian mutakhir—termasuk kajian Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), etnografi di Sumatera Barat, Bengkulu, Kalimantan, Nusa Tenggara—menunjukkan bahwa praktik adat sebenarnya adalah strategi mitigasi yang lahir dari observasi jangka panjang. Banyak pola ruang adat terbukti fungsional dalam mengelola risiko.

Ambil contoh Kasepuhan Ciptagelar di Jawa Barat. Selama lebih dari dua abad, komunitas adat ini menetapkan zonasi hutan keramat yang tidak boleh dibuka untuk permukiman atau pertanian. Zona tersebut berfungsi sebagai penyangga air dan pencegah longsor. Ketika pada awal 2000-an sebagian wilayah larangan itu mulai dilanggar untuk perluasan lahan, longsor mulai terjadi—membuktikan bahwa larangan adat tersebut bukan takhayul, melainkan pengetahuan ekologis yang teruji waktu.

Di Aceh, sistem pengelolaan hutan berbasis mukim (gabungan beberapa desa) pernah menjadi benteng perlindungan lingkungan. Hutan-hutan di daerah hulu tidak boleh dibabat karena dipahami sebagai pengatur tata air dan pencegah banjir bandang. Namun ketika tekanan ekonomi dan kebijakan sentralistik melemahkan otoritas mukim, hutan-hutan itu perlahan hilang. Bencana November 2025 yang menewaskan ratusan orang di Aceh adalah pengingat pahit dari hilangnya sistem perlindungan tradisional tersebut.

Komunitas adat menetapkan zonasi ekologis hulu–tengah–hilir, larangan membuka hutan di lereng tertentu, pola permukiman mengikuti kontur, serta aturan pengelolaan air yang memadukan fungsi ekologis dan sosial. Praktik-praktik ini justru lebih konsisten dibanding kebijakan formal yang sering berubah mengikuti siklus politik.

Namun kini pengetahuan lokal berada di titik rapuh. Urbanisasi, tekanan ekonomi, ekspansi perkebunan sawit, dan kebijakan pembangunan yang terlalu teknokratis membuat kearifan ini kehilangan ruang. Padahal jika dibaca sebagai data sosial, pengetahuan ini adalah arsip ekologis berabad-abad yang belum benar-benar dimanfaatkan.

Mengadopsi Tata Kelola Adaptif

Di tengah kebuntuan pendekatan konvensional, kebutuhan untuk mengadopsi model tata kelola adaptif berbasis kearifan lokal semakin mendesak. Dalam literatur internasional, pendekatan ini dikenal sebagai Indigenous Adaptive Governance—sebuah model yang memadukan pengetahuan ilmiah modern dengan praktik, norma, dan struktur sosial komunitas lokal yang terbukti fungsional.

Model ini tidak menolak teknologi. Ia justru melengkapinya dengan perspektif yang sesuai karakter Indonesia—negara dengan hampir 80 ribu desa yang memiliki lanskap dan kultur berbeda.

Penerapannya dapat konkret:

Integrasi zonasi adat ke dalam tata ruang formal, termasuk wilayah larangan dan batas ekologis tradisional yang selama ini diabaikan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Hutan adat di Aceh dan Sumatera Barat, misalnya, harus diakui sebagai kawasan lindung dalam regulasi nasional.

Sistem peringatan dini berbasis komunitas, yang memadukan sensor modern dengan indikator alam yang dikenali warga—seperti perubahan perilaku binatang, warna air sungai, atau pola angin yang menjadi tanda bencana.

Penguatan lembaga adat dan organisasi komunitas, agar dapat bekerja sejajar dengan pemerintah daerah dalam pengambilan keputusan tata ruang dan mitigasi bencana. Otoritas mukim di Aceh dan nagari di Minangkabau perlu dipulihkan perannya dalam pengelolaan sumber daya alam.

Audit ekologis partisipatif, memanfaatkan observasi warga sebagai data primer perubahan lahan yang melengkapi data satelit dan survei formal. Masyarakat lokal sering kali lebih dulu mendeteksi kerusakan lingkungan dibanding instrumen teknis.

Sekolah bencana berbasis budaya, untuk menghidupkan kembali kemampuan membaca tanda alam pada generasi muda yang kini lebih akrab dengan gadget daripada ekologi sekitar.

Pendekatan ini bukan sekadar mengakui kearifan lokal, tetapi menempatkannya sebagai subsistem penting dalam tata kelola risiko nasional.

Mengapa Mendesak?

Anggaran kebencanaan meningkat, infrastruktur dibangun, teknologi peringatan dini diperluas—namun tren bencana tidak menurun. Bencana November 2025 dengan 921 korban jiwa adalah bukti nyata bahwa ada yang keliru dalam cara memandang persoalan. Bencana tidak semata urusan teknis; ia adalah persoalan ekologi, sosial, dan budaya yang saling terkait.

Pendekatan teknokratis yang diterapkan pemerintah pusat dan daerah selama ini bersifat seragam. Sementara Indonesia, dengan keragaman lanskap dan kultur, tidak bisa diatasi dengan satu model tunggal. Pendekatan adaptif memberi ruang bagi keberagaman tanpa kehilangan koordinasi nasional. Saatnya Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta BNPB membuka ruang dialog dengan lembaga adat dalam penyusunan kebijakan.

Deforestasi di Sumatera yang berkontribusi pada bencana November harus menjadi pelajaran mahal. Ekspansi perkebunan sawit dan logging ilegal tidak bisa lagi dibiarkan mengabaikan fungsi ekologis hutan. Kearifan lokal yang selama ini melindungi kawasan hulu harus dikembalikan ke dalam sistem pengelolaan lahan nasional.

Menyusun Masa Depan dari Akar Sendiri

Momentum kebencanaan November 2025 seharusnya menjadi titik balik. Indonesia bisa terus menjalankan pola yang sama dan menunggu bencana berikutnya, atau mengambil kesempatan untuk membangun paradigma baru.

Tata kelola adaptif berbasis kearifan lokal bukan sekadar alternatif; ia adalah potensi besar yang selama ini diabaikan. Pemerintah perlu mengintegrasikan pengetahuan lokal secara sistematis ke dalam kebijakan. Perguruan tinggi harus menempatkan praktik adat sebagai data ilmiah yang valid. Dan masyarakat perlu melihat bahwa ketahanan tidak hanya dibangun dari struktur besar, tetapi dari kemampuan membaca alam sesuai konteks masing-masing.

Lebih dari seribuan nyawa yang melayang di Sumatera November lalu tidak boleh menjadi angka statistik belaka. Mereka adalah pengingat bahwa pendekatan yang mengabaikan pengetahuan lokal dan keberlanjutan ekologis adalah resep bencana yang akan terus berulang.

Bencana mungkin tidak akan berhenti. Tetapi Indonesia dapat membangun masyarakat yang lebih siap, lebih cerdas, dan lebih selaras dengan lingkungan. Masa depan ketahanan tidak harus dicari jauh-jauh; ia bisa dimulai dari akar yang sudah lama terlupakan. (*)

Dr. Boy Yendra Tamin, S.H., M.H.

Pengajar Program Magister Hukum Universitas Bung Hatta, Padang.

Spesialisasi Hukum Administrasi Negara, Hukum Agraria, dan Hukum Pemerintahan Daerah.

Spesial Untuk Anda:

Newest PostNewest Post
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar