Skip to main content
Boy Yendra Tamin

follow us

Masa Depan Hukum Islam Pasca Reformasi dan Tantangan Menghadapi Globalisasi Hukum

Oleh Boy Yendra Tamin

Selain dihadapkan pada  persoalan-persoalan globalisasi hukum, eksistensi Hukum Islam di Indonesia akan dihadapkan pula pada masalah-masalah pembangunan hukum nasional. Meskipun keberadaan hukum Islam dari hari ke hari kian memperlihatkan perkembangannya yang lebih baik. Berbeda dengan Hukum Adat, sebenarnya dalam masyarakat adat di Indonesia Indonesia tidak dikenal istilah “hukum adat” dan masyarakat hanya mengenal kata “adat” atau kebiasaan. Istilah “Hukum Adat” dikemukakan pertama kalinya oleh Cristian Snouck Hurgronye dalam bukunya yang berjudul “De Acheers” (orang-orang Aceh), yang kemudian diikuti oleh Cornelis van Vollen Hoven dalam bukunya yang berjudul “Het Adat Recht van Nederland Indie”. Pemerintah Pemerintah Kolonial Belanda kemudian mempergunakan istilah hukum adat secara resmi pada akhir tahun 1929 dalam peraturan perundang-undangan Belanda. Sementara dalam agama islam istilah “Hukum Islam” sudah melembaga dan integral dengan ajaran Islam.

Sebelum lebih jauh mengenai masa depan hukum Islam di Indonesia pasca reformasi, maka ada baiknya kita review kembali apa yang dimaksud dengan Hukum Islam itu. Untuk memahami apa itu Hukum Islam tentu akan berbeda dengan memahami hukum konvensional (law state), meskipun dalam beberapa bidang tertentu terdapat Hukum Islam secara positif, seperti hukum perkawinan, wakaf, peradilan agama, dan lain sebagainya. Perbedaan itu sangat sulit untuk disangkal, dimana dalam kalangan umat Islam ketika berbicara hukum  maka maksudnya adalah Hukum Islam yaitu keseluruhan aturan hukum yang bersumber pada Al-Quran dan untuk kurun zaman tertentu lebih dikongkritkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam tingkah laku beliau, [1] yang lazim disebut Sunnah Rasul.  Kaedah-kaedah yang bersumber dari Allah SWT kemudian lebih dikongkritkan  dan diselaraskan dengan kebutuhan zamannya melalui Ijtihad atau penemuan hukum oleh para mujtahid dan pakar dibidangnya masing-masing.

Dalam konteks alur dari Hukum Islam itu, beberapa ulama memberikan pengertian terhadap Hukum Islam. Al Iman Abu Hamid Al Ghazali berpendpat, fiqh itu bermakna faham dan ilmu. Sementara Ibnu Kaldun berpendapat bahwa fiqh itu ialah ilmu yang dengannya diketahui segala hukum Allah yang berhubungan dengan segala pekerjaan mukalaf, baik yang wajib, yang haram, yang makruh dan yang harus (mubah) yang diambil (diistimbathkan) dari Al Kitab dan As Sunnah dan dari dalil-dalil yang telah ditegakkan Syara’ seperti qiyam umpamanya. Apabila dikeluarkan hukum-hukum dengan jalan Ijtihad dari dalil-dalilnya, maka yang dikeluarkan itu namanya fiqih.

Pendekatan terhadap Hukum Islam sebagaimana dikemukakan di atas, sebenarnya hanya sekedar untuk mengantarkan kita kepada bagaimana masa depan Hukum Islam setelah bergulirnya era reformasi di Indonesia yang salah satu agendanya adalah reformasi di bidang hukum.

Terlepas dari ada perbedaan pandangan dari para sarjana, yang pasti di Indonesia sistem Hukum Islam adalah sistem hukum yang hidup berdampingan dengan sistem hukum lainnya. Bagaimana Hukum Islam itu bisa tumbuh dan berkembang tidaklah tergantung pada kebijakan politik pemerintah dalam bidang hukum atau tergantung pada kemauan pembentuk undang-undang. Meskipun tidak disebut secara implisit, tetapi dari pembukaan konstitusi (UUD 1945) menyiratkan eksistensi Hukum Islam, bahkan lebih dari itu, negara ini pun tersusun sebagai rahmat Allah Tuhan yang Maha Esa. Meskipun kemudian, pilihan jatuh kepada negara Indonesia bukan sebagai negara agama, tetapi agama diakui dan dilindungi di Indonesia. Dengan demikian, Hukum Islam memiliki ruang dan kesempatan yang cukup untuk bertumbuh dan berkembang di Indonesia, apalagi penduduk Indonesia mayoritas beragama Islam. Di samping itu hukum Islam sebagai hukum tidak tertulis juga diakui oleh konstitusi negara. Apalagi dalam Pasal 29 Undang undang Dasar 1945, dengan tegas dicantumkan negara berdasarkan atas Ketuhanan yang Mahaesa, maka konsekuensi yuridisnya adalah nilai-nilai keagamaan seharusnya menjadi dasar kenegaraan, terutama di bidang hukum sebagaimana dikemukakan oleh Hazairin. Demikian juga dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang merupakan authoritative source dengan sendirinya menjadi landasan yuridis bahwa tidak boleh ada peraturan perundang-undangan dalam ketatanegaraan Indonesia yang bertentangan dengan hukum Islam.[2]

Positivisasi hukum Islam selain melalui pembentukkan undang-undang atau peraturan perundang-undangan, positivisasi Hukum Islam juga berjalan melalui yurisprudensi oleh Mahkamah Agung, ternyata tidak hanya menyangkut hukum yang menjadi kewenangan badan Peradilan Agama, tetapi juga menyangkut hukum yang menjadi kewenangan Peradilan Umum dengan menggunakan dasar-dasar hukum Islam atau mengambil nilai-nilai yang bersumber dari hukum Islam. Misalnya Putusan Mahkamah Agung Nomor 3574 K /Pdt/2000 tanggal 5 September 2002, mengenai tanggungjawab seseorang atas utang orang tuanya, sebatas pada hak atas harta peninggalan pewaris (orang tua)-nya yang menjadi haknya saja adalah menggunakan dasar hukum dari Kompilasi Hukum Islam.[3] Demikian juga dalam putusan nomor 3713K/Pdt./1994 tanggal 28 Agustus 1997 Mahkamah Agung telah memutuskan perkara perjanjian yang diperiksa dan diputus oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, berdasarkan nilai-nilai hukum Islam yang diambil secara langsung dari al Qur’an.[4] Dari apa yang terjadi dalam praktek penegakan hukum pada Mahkamah Agung itu terlihat suatu alur tumbuhnya Hukum Islam melalui institusi peradilan dan tidak semata-mata bertumpu pada badan pembentuk undang-undang atau pada kebijakan pembangunan hukum pemerintah. Mahkamah Agung melalui yurisprudensi mengangkat Hukum Islam dari keadaan sebagai hukum tidak tertulis menjadi hukum positif yang berlaku dan mengikat (meski pada kasus tertentu dan terbatas pada para pihak) dan akan menjadi pedoman bagi hakim-hakim lainnya terhadap kasus-kasus serupa dimasa datang.

Positvisasi Hukum Islam melalui putusan-putusan pengadilan dan beberapa antaranya melalui pembentukan undang-undang tentu belum sepenuhnya mencerminkan posisi Hukum Islam memberikan kontribusi yang optimal dalam pembangunan hukum di Indonesia. Disadari, bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat pluralistik dan terdapat keanekaragaman sistem hukum yang hidup. Pluralistik yang melingkup Indonesia itu, tentu saja menyulitkan bagi adanya suatu unifikasi hukum di Indonesia. Unifikasi hukum hanya bisa dilakukan pada bidang-bidang hukum yang netral, seperti ekonomi, perdagangan; perburuhan, pidana. Sebaliknya Unifikasi tidak dapat dilakukan pada bidang-bidang yang bersangkutan dengan agama dan adat, seperti perkawinan dan warisan, hak untuk mati, hak untuk menggugurkan kandungan dan perkawinan sesama .[5] Dalam perspektif yang demikian, maka dalam kalangan pemeluk dan cendekiwan Islam sendiri, haruslah tumbuh suatu inisiatif untuk mengupayakan positivisasi Hukum Islam yang netral dan dilain pihak melakukan univikasi Hukum Islam bagi pemeluk agama Islam.

Bagaimana hal itu –insiatif atau gagasan pembentukan hukum positif Hukum Islam – ditentukan pula oleh cara pandang  dilingkungan ulama, pemikir dalam kalangan Islam sendiri.  Dalam perspektif ini yang kita saksikan adalah, bahwa  cara pandang dan interpretasi yang berbeda dalam keanekaragaman pemahaman orang Islam terhadap hakikat hukum Islam telah berimplikasi dalam sudut aplikasinya,[6] dan perbedaan cara pandang dari kalangan Islam serupa itu sekaligus menjadi penghabat bagi tumbuh dan berkembangnya Hukum Islam di Indonesia dengan lebih baik lagi. Dalam hal ini mengutip pandangan  M. Atho Mudzhar misalnya – yang juga dikutip  Didi Kusnadi,  menjelaskan cara pandang yang berbeda dalam bidang pemikiran hukum Islam menurutnya dibagi menjadi empat jenis, yakni kitab-kitab fiqh, keputusan-keputusan Pengadilan agama, peraturan Perundang-undangan di negeri-negeri muslim dan fatwa-fatwa ulama.[7]

Oleh sebab itu, apabila kita membicarakan masa depan Hukum islam dalam konteks reformasi hukum, maka sudah seharusnya beberapa permasalahan dikalangan Islam sendiri berkaitan dengan Hukum Islam tentunya harus diminimalisir, apabila kita mengharapkan Hukum Islam tumbuh dan berkembang dengan baik dan kuat di Indonesia. Perbedaan pendapat yang berlangsung dikalangan penganut agama Islam di Indonesia, berpotensi menempatkan Hukum Islam tertinggal ketika bidang-bidang hukum lain memperkuat dirinya dalam kerangka reformasi hukum.

Dalam konteks reformasi hukum itu, apa yang dikemukakan Ismail Suny patut menjadi pemikiran kalangan ahli Hukum Islam, dimana  Ismail Sunny, mengilustrasikan politik hukum sebagai suatu proses penerimaan hukum Islam digambarkan kedudukannva menjadi dua periode yakni pertama, periode persuasive source di mana setiap orang Islam diyakini mau menerima keberlakuan hukum Islam itu; dan kedua, periode authority source di mana setiap orang Islam meyakini bahwa hukum Islam memiliki kekuatan yang harus dilaksanakan. Dengan kata lain, hukum Islam dapat berlaku secara yuridis formal apabila dikodifikasikan dalam perundang-undangan nasional.[8]  Penulis pikir sangat jelas apa yang dicitakan oleh Ismail Sunny, meskipun sebelumnya sudah kita kemukakan ada beberapa bidang tertentu yang tidak bisa dilakukan unifikasi atau kodifisikasi.

Untuk memantapkan transformasi hukum Islam ke dalam supremasi hukum nasional, jelas tidak terlepas dari politik hukum. Dalam hubungan ini, semestinya pemeluk agama Islam yang mayoritas seharusnya mampu memberikan pengaruhnya yang kuat dalam perumusan kebijakan politik hukum nasional. Namun mayoritas saja tidak cukup, karena selain prulistik, arus globalisasi mempunyai kepentingan dalam kebijakan  Politik hukum nasional, dan dalam hal inilah betapa pentingnya keutuhan dan kesamaan pandang dikalangan Islam dalam memberikan pengaruh pada kebijakan Politik Hukum Nasional. Sehingga transformasi hukum Islam dalam pembangunan hukum nasional mendapat porsi yang memadai dan tidak tertutup mungkin medominanasi.

Dalam konteks uraian di atas, patut kita respon apa yang dikemukakan Jaenal Aripin;

Reformasi should cover all aspects of state affairs, including law with its norms and administrations. Law reform relates to the reposition of judicative power. The reposition will come to, among other things, reorganize religious court. Reorganization within Religious Court can be seen from its status and stance which are under the roof of Supreme Court. This comes to a further consequence, that is its role increases. Religious Court does not only solve problems regarding family law (al-Akhwal al-Shakhsiyyah), but also has a right to solve conflict regarding economy of sharia. This law reform, however, almost never bring significant change to material law, except reinsisting Kompilasi Hukum Islam dynamics and the development of Religious Court in Indonesia, I come to an important finding and conclusion: the strong existence of Religious Court is not a product of politics of law (legal structure) or legal substance, but a product of social and cultural power.[9]

Setidaknya dari apa yang dikemukakan Jaenal Aripin itu hal perlu digaris bawahi adalah bahwa the strong existence of Religious Court is not a product of politics of law (legal structure) or legal substance, but a product of social and cultural power. Hal ini tentu menunjukkan lemahnya pengaruh kalangan Islam dalam ranah pembangunan sistem hukum di Indonesia. Bisa kita bayangkan, apabila pembentukan pengadilan agama bukanlah merupakan suatu produk politik hukum (struktur hukum) atau substansi hukum melainkan  sebuah produk dari sosial budaya. Hal ini bisa jadi dikarenakan pengaruh dari apa yang telah berlangsung selama ini, dimana Hukum Islam senantiasa dipahami sudah melembaga dalam pemeluk agama Islam, tetapi disisi lain kita melupakan bahwa sistem Hukum Islam hanyalah satu dari sistem hukum nasional dan juga sangat mempengaruhi pergaulan hidup para penganut agama Islam.

Atas dasar kenyataan yang demikian, betapa penting sebenarnya peran kalangan Islam dalam pembentukan atau perumusan kebijakan politik Hukum Nasional dan di sisi lain bagaimana Hukum Islam mendapat tempat yang memadai dalam politik hukum nasional. Pasca reformasi setidaknya saat yang tepat bagi Hukum Islam masuk lebih dalam ranah perumusan politik hukum nasional. Hal itu terutama pembangunan hukum di era reformasi tampaknya masih menjadi debatable, dimana ada ketidak puasan –untuk tidak mengatakan menyalahkan—konsep pembangunan hukum yang diterapkan selama Orde Baru dan  disisi lain Indonesia belum pula menemukan paradigma pembangunan hukum yang ideal dan cocok. Sekalipun UUD 1945 sudah di-amandemen, tetapi pembangunan hukum belum dapat dikatakan[10] terarah dan terpadu sebagaimana pada masa Orde Baru. Atas kenyataan ini, maka sebenarnya pembangunan hukum di Indonesia sedang dihadapan pada keadaan tidak “menentu”, kecuali adanya keinginan untuk mengembangkan suatu konsep pembangunan hukum yang lebih demokratis dan kearah masyarakat sipil (civil society) yang lebih sejahtera. Kesempatan itu seharus diambil oleh kalangan Islam untuk menguatkan keberadaannya dalam kehidupan hukum di Indonesia.

Dilema yang dihadapi dalam pembangunan hukum nasional itu, secara tidak lansung tentu mempengaruhi segala aspek kehidupan hukum di Indonesia atau sebaliknya member keuntungan bagi Hukum Islam. Bahkan Indonesia belum memiliki grand disain pembangunan hukum nasional, disisi lain penyelenggaraan pemerintahan harus berjalan dan berjalan di atas ketentuan hukum yang ada, termasuk ketentuan peraturan perundang-undangan yang dibentuk pada zaman Orde Baru.

Parahnya lagi, dimana selama rezim Orde Baru GBHN berisi kebjakan-kebijakan nasional yang berisikan garis-garis besar pembangunan hukum nasional yang kemudian dapat diacu oleh semua pihak penyelenggara negara untuk kemudian dituangkan dalam berbagai macam kebijakan (beleid/policy) yang lebih konkrit/normative baik dalam wujud UU maupun peraturan lainnya, tetapi tidak demikian halnya pasca amandemen UUD 1945 sebagai salah satu hasil reformasi. Pasca amandemen UUD 1945 tidak dikenal lagi GBHN dan setiap lembaga negara –dalam hal ini administrasi negara—berjalan sesuai dengan tugas dan fungsi  serta wewenangnya masing-masing dan kemudian saling mengawasi dan saling mengendalikan (cheks and balances) dan tidak berpuncak pada pertanggungjawab kepada MPR. Akibatnya menurut Natabaya[11], pembangunan hukum nasional yang akan dituangkan dalam UU harus dalam bentuk norma (normative) tidak bisa UU berisi program/rencana jangka pendek, menengah dan panjang. UU harus mengatur secara normative yang berisi laraangan (verbod), suruhan, perintah (gebod) dan kebolehan (toestimming).

Dilema pembangunan hukum nasional pasca reformasi dan amandemen UUD 1945 seperti yang dikemukakan di atas,  tentu berdampak terhadap eksistensi Hukum Islam, apakah akan mengambil kesempatan memaikan perannya yang lebih optimal atau justeru makin tertinggal. Dalam hubungan ini Hukum Islam akan bertumbuh dan berkembang dengan ia bisa terjadi ketika elite politik Islam memiliki daya tawar yang kuat dalam interaksi perumusan politik hukum, maka peluang bagi pengembangan hukum Islam untuk ditransformasikan semakin besar.

Keadaan mana akan tampak memerlukan perhatian serius bila dibanding dengan Hukum Adat, dimana selain adanya pengakuan dalam konstitusi UUD 1945, keberadaan hukum adat makin kuat dengan adanya deklarasi PBB tentang hak-hak masyarakat adat yang antara lain menyatakan; Mengakui dan menegaskan kembali bahwa warga masyarakat adat diakui, tanpa perbedaan, dalam semua hak-hak asasi manusia yang diakui dalam hukum internasional, dan bahwa masyarakat adat memiliki hak-hak kolektif yang sangat diperlukan dalam kehidupan dan keberadaan mereka dan pembangunan yang utuh sebagai kelompok masyarakat.[12]

Untuk bisa mendapatkan ruang yang lebih dalam perumusan kebijakan pembangunan hukum nasional, pengalaman masa lalu perlu dijadikan sebagai masukkan yang berharga. Ini setidaknya bagi kalangan Islam modernisasi ibarat dilema karena dihadapkan kepada dua pilihan, yakni apabila mendukung modernisasi ala Orde Baru --atau Reformasi sekalipun pen-- berarti sama saja mendukung Barat, sedangkan pada sisi lain, apabila menolak berarti umat Islam akan kehilangan kesempatan untuk berperan aktif dalam program pembangunan nasional.[13] Jika pada masa Orde Baru pembentukan hukum berpijak pada GBHN sebagai garis kebijaksanaan pembangunan hukum, sementara pada masa era Reformasi ini GBHN tidak ada lagi, yang ada lagi. Pembangunan hukum di Indonesia saat hanya terimplementasi dalam bentuk Prolegnas dan cenderung pada upaya pembentukan udang-undang, padahal pembangunan hukum tidaklah identik dengan pembentukan undang-undang.

Ketiadaan GBHN pasca reformasi juga menjadi pekerjaan rumah sendiri bagi pengembangan Hukum Islam.  Pembentukan hukum nasional, seperti diamanatkan oleh GBHN Tahun 1999, dilakukan dengan upaya legislasi di lembaga parlemen. Karena diproses secara politik dalam parlemen, maka pembentukan hukum melalui legislasi akan selalu terjadi tarik-menarik berbagai kepentingan (politik dan ideologi), yang mengakibatkan lambatnya pembentukan hukum. Padahal perkembangan masyarakat yang cepat juga memerlukan jawaban hukum dengan segera. Pada sisi lain perkembangan ummat Islam Indonesia yang semakin bergairah untuk melaksanakan hukum Islam, memerlukan jawaban hukum Islam. Untuk beberapa persoalan telah dijawab dengan pelembagaan hukum Islam melalui proses legislasi, sehingga telah menjadi hukum positif dalam bentuk undang-undang, seperti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Undang-undang 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, Undang-undang Nomor 4 Tahun 2002 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, dan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1999 tentang Perbankan yang  juga menjadi gantungan yuridis penerapan sistem syariah dalam dunia perbankan dan lembaga keuangan lainnya,[14] dan baru saja Undang-undang Tenga Wakaf.  Beberapa positivisasi pelembagaan hukum Islam di Indonesia melalui upaya-upaya legislasi, seperti diuraikan di muka, mengharuskan upaya lain yaitu melalui yurisprudensi dan ini tentu tidaklah mengantarkan pembangunan Hukum Islam secara terencana dan terarah. Positivisasi Hukum Islam melalui jurisprudensi, selain temporer juga kasuistis.

Dengan beberapa hal yang telah kita kemuakakan di atas, tampaklah sejumlah hubungan antara harapan untuk mengembangkan Hukum Islam pada satu sisi dan disisi lain adanya hambatan-hambatan yang harus dihadapi Hukum Islam dalam mengaktualiasikan dirinya dalam cara positif. Di lain pihak, dalam berlansungnya reformasi hukum di Indonesia, pada satu sisi terbuka ruang dan kesempatan bagi Hukum Islam memainkan perannya yang lebih besar, tetapi perlu adanya penguatan-penguatan ke dalam dari kalangan Islam dalam pengembangan Hukum Islam. Apalagi jika dipahami, bahwa transformasi hukum Islam dalam bentuk perundang-undangan (Takhrij al-Ahkâm fî al-Nash al-Qânun) merupakan produk interaksi antar elite politik Islam (para ulama, tokoh ormas, pejabat agama dan cendekiawan muslim) dengan elite kekuasaan (the rulling elite) yakni kalangan politisi dan pejabat negara.

Dari fenomena di atas, setidaknya tampak bahwa Hukum Islam memiliki potensi berkonstribusi dalam mewujukan tujuan negara. Tidak disangkal, Hukum Islam bisa tumbuh dan berkembang dalam masyarakat yang modern yang setidaknya dibuktikan dengan berkembangnya bank syariah sebagai insitusi keuangan yang pesat pertumbuhannya yang tidak hanya di Indonesia. *

[1] Lihat juga Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Chandra Pratama, 1996 hlm 45.

[2] Sunny, op. cit. hal. 139

[3] Arbijoto (Ketua Tim), 2005; Yurisprudensi Mahkamah Agung RI 2004, Mahkamah Agung, Jakarta, hal. 42

[4] PP IKAHI, Varia Peradilan, Nomor 161 Tahun 1999, hal. 34-35

[5] Erman Rajagukguk, Ibid.

[6]  Didapati perbedaan pemahaman orang Islam di dalam memahami hukum Islam yang memiliki dua kecenderungan, yakni hukum Islam identik dengan syari’ah dan identik dengan fiqh. Ini banyak terjadi bukan hanya di kalangan ulama Fiqh, tetapi juga di kalangan akademisi dan praktisi hukum Islam.

[7] M. Atho Mudzhar, Pengaruh Faktor Sosial Budaya terhadap Produk Pemikiran Hukum Islam, dalam Jurnal Mimbar Hukum No. 4 tahun II (Jakarta: AI-Hikmah dan Ditbinbapera Islam, 1991), him. 2 1-30.

[8] Isma’il Sunny, Tradisi dan Inovasi Keislamart di IndonesIa dalam Bidang Hukum Islam, dikutip dan Bunga Rampai Peradilan Islam di Indonesia, Jilid I (Bandung: Ulul Albab Press, 997), hlm. 40-43

[9] Jaenal Arifin, Law Reform and Its Implication Towards The Existence of Relegious In Indonesia, 2004, http://ern.pendis.kemenag.go.id/DokPdf/ern-vi-01-eng.pdf

[10] Natabaya, Ibid hlm 205

[11] Natabaya, Ibid hlm 206

[12] Lebih jauh lihat Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat.

[13] M. Dawam Rahardjo, Intelektual, Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa, (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 38 1-382.

[14] Muhammad Amin Suma, 2004, Himpunan Undang-undang Perdata Islam, Rajawali Press,Jakarta, hal. 56

Spesial Untuk Anda:

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar