Skip to main content
Boy Yendra Tamin

follow us

Kota Padang Dalam Tinjauan Tradisi (Budaya Masyarakat Padang)

Oleh : Emral Djamal Dt.Rajo Mudo

PENDAHULUAN

Sekilas Sejarah dan Asal Usul Padang

Dari penelitian Asal Usul Nagari Padang, Ninik Mamak  Delapan Suku, ada simpul kecil yang menarik. Abad ke 17 Nagari Padang mencapai puncak kehadirannya sebagai sebuah Bandar Pelabuhan. Kejayaannya ditempa dan berkembang karena pertarungan berbagai konflik menjadi kota pantai yang tumbuh dan berkembang dengan percepatan.

Pernah menjadi ajang perebutan global berbagai kepenting an bangsa-bangsa asing seperti Portugis, Belanda, Inggris, Perancis dan pendatang-pendatang asing lainnya di pantai barat Sumatera, berbenturan pula dari dalam negeri sendiri berhadapan de ngan kepentingan Aceh, serta berkaitan pula dengan masalah perta hanan wilayah Minangkabau bagian Pesisir Barat Sumatera Barat yang dipimpin Kesultanan Kerajaan Indrapura. Sekaligus memperlihatkan citra dan karakter spesifik sebagai kota pantai yang tangguh dan tegar dalam menghadapi berbagai konflik global di zamannya.

Nagari Padang menjadi symbol ajang perebutan pengaruh dan pertarungan kekuatan-kekuatan besar di Nusantara dan kekuatan-kekuatan dagang asing dengan tujuan berbagai kepentingan sosial, budaya, politik dan ekonomi. Sasaran utama adalah perebut an kekuasaan monopoli perdagangan komoditi utama seperti emas dan lada di jajaran bandar-bandar yang terletak di sepanjang pesisir barat Sumatera ini. Menggeser berbagai bandar-bandar ternama seperti Meulaboh, Sibolga, Barus, Singkil, Air Bangis, Tiku, Paria man, Sungai Nyalo, Carocok Tarusan, Bayang, Salido, Bandar Sepu luh, Muara Sakai-Indrapura dan Bengkulu.

Ini terbukti dengan pindahnya dan dibangunnya gudang-gudang penyimpanan hasil bumi, serta gudang-gudang persenjataan dan benteng pertahanan yang disebut Loji oleh Belanda, dari Pulau Cingkuk di Salido kemudian ke Pulau Pisang yang terletak di pingg iran pantai dekat Muara Batang Arau. Secara bertahap, dengan pindahnya kedudukan Belanda dari Salido ke Padang, pusat perda gangan hasil bumi juga bergeser dan akhirnya berbasis pada bandar pelabuhan Muara Batang Arau Padang. [1]

Emral Djamal

Sampai sekarang, nama “Padang” sendiri telah ditafsirkan dengan berbagai embel-embel pemahaman yang bermacam-macam. Saat ini orang-orang luar daerah Sumatera Barat telah menafsirkan sendiri bahwa orang Padang itu sama dengan orang Minang. “Si Padang” itu adalah “Padang Bengkok”, maka seperti disinyalir banyak orang dari luar Minang yang menganggap orang “Padang” itu “licik”, “galie”, “ongeh” dan sebagainya [2]

Hal ini tidaklah demikian, karena sebenarnya banyak nilai-nilai falsafah hidup “orang Padang” itu yang belum atau tidak dipahami oleh orang-orang dari “luar Minangkabau”. Dan sudah menjadi biasa pula banyak ungkapan-ungkapan tradisi Minangkabau yang ditafsirkan dangkal (secara harfiah), pada hal ajaran hidup orang Padang yang sebagian besar adalah keturunan orang Minangkabau memiliki nilai-nilai falsafah yang makna budayanya berlapis-lapis, seperti adanya makna atau pengertian yang tersurat, tersirat dan tersuruk. Bahkan harus ditelusuri lagi pemahamannya dalam tata ran makna mendatar, mendaki, melereng, dan menurun.

Meskipun menjadi rebutan pengaruh asing, sebenarnya Pa dang tidak pernah secara utuh mampu dikuasai penjajah sejak awal bernama Taluak Banda Lako, Kualo Air Batu. Walaupun Belanda pernah mendirikan Loji VOC pertengahan abad ke 17 ketika pengaruh Aceh secara de facto berakhir di sana, membentuk pemerintahan (Governemen) namun pihak asing itu tidak bisa sepenuhnya aman menancapkan pengaruhnya untuk menjadikan “Si Pa dang” menjadi “Si Belanda” di Padang, bahkan membuat mereka trauma, misalnya dengan peristiwa penyerangan dan pembakaran Loji VOC di Muara Padang pada abad ke 18 yang menjadi catatan penting bagi keberadaan sejarah kelahiran dan berdirinya kota Padang.

Basis kekuatan pertahanan dengan berbagai strategi dan taktik yang dilakukan oleh Pariaman, Kototangah, Tarusan, Bayang, Indrapura dan Pagaruyung serta Salayo, Kubung Tigo Baleh berpu sat di Pauh, Kototangah, dan Nagari Nan Duo Puluah. Basis itu tidak serta merta merusak atau merubah Adat Minangkabau atau Adat Penghulu di Pauh, Kototangah dan sekitarnya, bahkan menjadi kuat.[3].

Fenomena kekuatan komunitas adat ini berpengaruh kepada sikap mental penduduknya yang memperlihatkan character building yang self confident (percaya diri) tinggi dengan semangat kejuangan yang ditempa dengan berbagai kemampuan taktik dan strategi beladiri - bela nagari baik secara fisikal, maupun secara piskologis (mental dan spiritual). [4] untuk menghadapi berbagai gejolak dan tantangan dari pihak luar. Kehidupan masyarakat nagari Padang tumbuh menjadi sebuah lingkungan wacana percaturan berbagai kepentingan strategis politik, ekonomi sosial dan budaya, bahkan dari kalangan kaum agama.[5]

Ketika wacana publik muncul tentang eksistensi Padang yang heterogen, terjadi tarik menarik antara Pauh dan Kototangah dan Nagari Nan Duopuluah berkenaan dengan nagari Padang itu sendiri. Istilah “asli” dan “tidak asli”nya penduduk Padang seperti “api dalam sekam”. Tanpa disadari banyak para penulis mengungkapkan data sejarah yang miring dan salah kaprah.

Seperti diketahui bersama bahwa banyak sumber-sumber sejarah Belanda selalu memutar balikkan kenyataan yang ada, kare na kelihaian politik adu dombanya yang mengkotak-kotakkan komu nitas adat menurut versinya sendiri. Ini semua dari sisi Belanda ada lah sesuatu yang wajar-wajar saja.

Namun diperlukan kehati-hatian dalam melihat sesuatu ber dasarkan asumsi bahwa sebelum pihak asing datang menjarahi negeri ini, sebenarnya sudah ada sistem kekuasaan dan pemerintah an yang mengatur pertahanan wilayah pantai barat Sumatera ini. Yakni Kerajaan Kesultanan Indrapura di Pesisir Selatan yang diberi hak dan wewenang khusus sebagai Panglima Pertahanan Wilayah Pesisir Barat dengan jajarannya di sepanjang pantai barat Sumatera Barat.

Sementara Kerajaan Pagaruyung hanya bertindak sebagai pusat kordinasi wilayah Alam Minangkabau yang berkedudukan di daerah darat, dan tidak secara langsung mengurus pesisir barat, karena wewenang yang sudah dilimpahkan kepada Kesultanan Indra pura. Itu pulalah sebabnya kenapa Belanda atau Inggeris secara politis berusaha habis-habisan untuk mematahkan dan menghancur kan keberadaan Kerajaan Kesultanan Indrapura dengan berbagai taktik dan politik adu dombanya.

Akibatnya kaitan hubungan berbagai informasi sejarah nege ri sendiri menjadi rancu bahkan hilang ditelan masa. Begitupun tentang asal usul nama Padang itu sendiri tetap menjadi wacana silang pendapat sampai hari ini. Apakah Padang merupakan wilayah Indrapura, Pauh, Kototangah, Pariaman, Kubung Tigobaleh, atau merupakan rantau Pagaruyung yang saling diperebutkan bangsa asing sejak dari masuknya bangsa Portugis, Kompeni Belanda, Ingge ris, Perancis, dan lain-lainnya itu.?

Padang selalu menjadi korban atas berbagai kepentingan-kepentingan strategis ini demikian juga Indrapura terutama dapat dirasakan dengan politik adu domba Belanda pada zaman kekuasaan Groenewegen dan Verspret 6 Pada hal Padang adalah juga wilayah Minangkabau yang diberi otonomi luas oleh Indrapura dan Paga ruyung sebagai bandar dagang yang dapat ditingkatkan menjadi se buah kota pantai dan bandar pelabuhan utama di pesisir barat Sumatera.

Bahkan nantinya kemelut itu sampai kepada masaalah aga ma, yakni kepada adu domba antara kaum Paderi dan kaum Adat, “kaum muda dan kaum tua”, sementara Belanda mengambil kesem patan untuk memperteguh kedudukannya sebagai penguasa Minang kabau di Sumatera Barat dengan menghancurkan Indrapura, Bayang, Salido dan Tiku di Pariaman, serta mempertahankan dan menjadikan Padang sebagai bandar strategis.

Walaupun Padang berada dalam tangan-tangan kekuasaan asing, tidak berarti penduduknya juga harus menjadi asing di negeri nya sendiri. Bahkan ada yang menganggap bahwa Padang adalah Kompeni Belanda, Menyerang Padang berarti menyerang Belanda [7]. Ungkapan ini tidaklah menguntungkan bagi integritas masyarakat Nagari Padang, seperti terkesan masih ada sisa politik adu domba Belanda dan masih menunjukkan dominasi pengaruh politik itu dalam masyarakat Sumatera Barat hari ini. Bahkan sepertinya meng hasut masyarakat berfikir primordialisme berlebihan. Seperti terkesan pada penilaian terhadap kaum “bangsawan” Padang yang dianggap Belandaisme, sementara yang lain adalah “pahlawan”. … bersambung  ke Bagian kedua klik disini

 (Makalah ini telah dipresentasikan pada diskusi tentang “ Padang Sejarah dan Budayanya “ yang diselenggarakan oleh Museum Adityawarman Padang, tgl Kamis 8 Nov 2007 )

Spesial Untuk Anda:

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar