Catatan Hukum Boy Yendta Tamin, SH. MH
Dosen Fak Hukum Univ Bung HattaMencermati persoalan penyitaan terhadap harta benda tersangka korupsi mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq, belakangan muncul pemikiran untuk mengembangkan asas praduga tidak bersalah (Presumption of Innocence) ke asas praduga bersalah. Gagasan untuk menerapkan asas praduga bersalah haruslah dipikirkan sedemikian rupa dan tidak bisa hanya didasarkan pada pemikiran untuk memiskinkan koruptor, termasuk dalam konteksnya dengan tindak pidana pencucian uang. Presumption of Innocence adalah asas dimana seseorang dinyatakan tidak bersalah sampai pengadilan menyatakan bersalah. Hal ini setiap penegak hukum (Penyidik, Penunut Umum, Hakim dan Pengacara) harus selalu menempatkan seseorang tidak bersalah sampai ada putusan pengadilan,
Patutlah dipahami, mengapa dan apa arti penting serta filosofi dari asas Presumption of Innocence dalam proses penegakan hukum. Penggunaan asas praduga bersalah tidak saja akan menghadapkan hukum sebagai instrument penindasan dan besar kemungkinan akan melanggar hak asasi manusia. Bahkan, dengan asas praduga bersalah penegakan hukum akan berlangsung dalam kondisi keras dan rawan konflik serta mendorong sikap-tindak sewenang-wenang. Selain itu asas praduga bersalah akan menjadikan hukum sebagai tujuan dan menjauhkan hukum yang sesungguhnya adalah alat untuk mencapai tujuan,
Pemikiran untuk menerapkan asas praduga bersalah lebih dekat pada menempatkan proses hukum pada pemikiran penghukuman yang boleh jadi mengabaikan esensi dari penegakan hukum yakni menemukan kebenaran materil. Penggunaan asas praduga bersalah akan mematikan rasa keadilan masyarakat yang di dalamnya termasuk para pencari keadilaan sendiri. Bahkan jika asas praduga bersalah yang menguasai minside penegak hukum, maka tidak saja melanggar hak asasi manusia, tetapi sekaligus merusak sistem hukum acara yang ada. Dalam konteks hukum pidana misalnya, jika asas praduga bersalah yang dipilih maka tentu tidak perlu lagi ada status tersangka dalam proses penegakan hukum tetapi melompat ke status sebagai terdakwa.
Penerapan asas praduga tidak bersalah tidaklah lahir begitu saja dan tidak lahir dalam kepentingan dan keperluan praktis, Artinya penerapan asas praduga tidak bersalah lahir dari sebuah perjalaan sejarah yang panjang, Ada banyak catatan dari sejarah lahirnya asas praduga tidak bersalah misalnya dalam kasus Coffin pada Mahkamah Agung AS tahun 1895. Dalam konteks ini disebutkan “The Coffin case stands for the proposition that at the request of a defendant, a court must not only instruct on the prosecution's burden of proof--that a defendant cannot be convicted unless the government has proven his guilt beyond a reasonable doubt--but also must instruct on the presumption of innocence--by informing the jury that a defendant is presumed innocen”. The principle that there is a presumption of innocence in favor of the accused is the undoubted law, axiomatic and elementary, and its enforcement lies at the foundation of the administration of our criminal law. In tracing the presumption of innocence…”
Dalam pandangan berikutnya asas praduga tidak bersalah menjadi sangat penting adalah karena selalu ada kemungkinan proses penegakan hukum mengandung kekeliruang baik mengenai orang maupun perbuatannya, karena penegak hukum adalah juga manusia yang tidak luput dari sifat khilaf dan keterbatasan dalam melakukan sesuatu. Selalu ada kemungkinan seseorang dihukum tidak adil atau seharusnya dihukum karena ada proses hukum yang tidak benar atau karena si-tertuduh tidak punya daya upaya untuk membuktikan ia tidak bersalah yang bisa disebabkan berbagai faktor. Lord Hale (1678) mengatakan: "In some cases presumptive evidence goes far to prove a person guilty, though there be no express proof of the fact to be committed by him, but then it must be very warily pressed, for it is better five guilty persons should escape unpunished than one innocent person should die. Lord Hale lebih jauh mengamati: “And thus the reasons stand on both sides, and though these seem to be stronger than the former, yet in a case of this moment it is safest to hold that in practice, which hath least doubt and danger, quod dubitas, ne faceris.”
Pemikiran-pemikiran akan penggunaan asas Presumption of Innocence itu selalu dikaitkan dengan adagium hukum yang mashur, “lebih baik melepaskan seribu orang bersalah dari menghukum satu orang yang tidak bersalah”. Blackstone (1753-1765) maintains that "the law holds that it is better that ten guilty persons escape than that one innocent suffer. Dalam konteks ini asas Presumption of Innocence sudah menjadi asas hukum yang umum di Negara-negara dunia. Tentu pengembangan asas Presumption of Innocence itu dianut bukan lantaran hambatan-hambatan atau adanya maksud untuk “memenuhi nafsu menghukum” terhadap seorang yang di duga melakukan tindak pidana. Karena pemikiran untuk penerapan asas praduga bersalah jelas akan menjadi kebalikan dari prinsip yang dianut dalam asas Presumption of Innocence (asas praduga tidak bersalah).
Singkat kata alasan-alasan adanya hambatan dalam proses pengumpulan barang bukti atau tindakan lain terkait proses penegakan hukum pada sebuah kasus tidak lantas mendorng pemikiran beralih dari penggunaan asas praduga tidak bersalah ke asas praduga bersalah dalam proses penegakan hukum.*