Skip to main content
Boy Yendra Tamin

follow us

Pembaharuan Hukum Pidana dan Pemberantasan Tipikor

Oleh : Daniwiharya Idris, SH
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Bung Hatta

Berjalannya penyelenggaraan sistem dan politik hukum pada dasarnya ditentukan oleh substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Ketiga unsur ini saling berhubungan dan mempengaruhi satu sama lainnya. Di dalam sistem hukum pidana substansi dan struktur hukum pidana merupakan produk hasil formulasi yang arahnya ditentukan sesuai dengan kebutuhan dalam penegakan hukum itu sendiri. Sedangkan budaya hukum lahir dari apresiasi masyarakat terhadap formulasi atas substansi dan struktur hukum tersebut.

Korupsi merupakan salah satu tindak pidana khusus yang pengaturanya terdapat diluar KUHP, dikarenakan oleh kekhususan baik atas pemidanaannya maupun dalam proses peradilannya. Pengaturan tindak pidana khusus di luar KUHP tersebut merupakan upaya pembaharuan secara parsial terhadap hukum pidana umum yang dalam perjalanannya tidak mampu lagi menampung kebutuhan penegakan hukum di Indonesia. Namun hal tersebut menimbulkan permasalahan-permasalahan baru berupa duplikasi norma hukum pidana antara norma hukum pidana dalam KUHP dengan norma hukum pidana dalam undang-undang di luar KUHP, perumusan ancaman sanksi pidana sebagai parameter keadilan dalam penjatuhan pidana yang tidak terstruktur dan tidak sistematik, serta terlalu banyaknya undang-undang yang membuat ketentuan pidana (khusus) dan terlalu sering mengubah norma hukum pidana.1) Barda Nawawi Arief bahkan mengatakan bahwa keberadaan UU Khusus itu tumbuh seperti “tumbuhan/bangunan (kecil) liar” yang tidak bersistem (tidak berpola), tidak konsisten, bermasalah secara yuridis, dan bahkan “menggerogoti/mencabik-cabik” sistem/bangunan induk.2)

Hal ini disebabkan oleh kurangnya pertimbangan dalam politik pembentukan hukum pidana khusus tersebut. Sehingga tumpang tindih dalam keseluruhan substansi hukum pidana terutama yang berkenaan dengan tindak pidana korupsi, menyebabkan ketidakpastian dalam sistem hukum pidana di Indonesia, yang berujung pada bermasalahnya proses penegakan hukum. Hal tersebut menurut pendapat pribadi penulis merupakan hal yang wajar, dikarenakan pembentukan hukum pidana khusus tersebut hanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan penegakan hukum yang ada pada saat peraturan hukum pidana khusus tersebut dibuat, sedangkan sebagaimana kita ketahui hukum terus berkembang mengikuti perkembangan masyarakat hukum itu sendiri.

Oleh karenanya timbul wacana pembaharuan hukum pidana secara total melalui pengaturan keseluruhan aturan pidana kedalam sebuah kodifikasi yang diformulasi menjadi RUU KUHP yang baru. Pembaharuan keseluruhan substansi hukum pidana khususnya atas pengaturan tindak pidana korupsi kedalam RUU KUHP yang baru inipun menimbulkan kekhawatiran baru, dimana sebagian masyarakat hukum menilai hal ini akan melemahkan kekhususan tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana luar biasa (ekstra extra ordinary crime) menjadi kejahatan biasa, maupun atas proses peradilannya yang akan serta merta akan disamakan dengan tindak pidana umum biasa. Sehingga penggabungan tindak pidana korupsi ke dalam RUU KUHP yang baru dianggap merupakan upaya pendegradasian baik atas tindak pidana korupsi itu sendiri maupun atas Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai instrumen utama penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi.

Menurut pendapat pribadi penulis, kekhawatiran tersebut tidaklah berlebihan, apabila pembentukan kodifikasi dalam RUU KUHP tersebut tidak diformulasi dengan baik. Pemformulasian ini pun harus sedemikian rupa menciptakan kepastian hukum baik atas materil substansi maupun materil struktur dan sistemnya.

Pemformulasian substansi materil hukum pidana yang baru sedapat mungkin mengatur dengan jelas dan terperinci pola pemidanaan atas tiap-tiap delik perbuatan melawan hukum/kejahatan yang beraneka ragam dalam RUU KUHP tersebut, atas kejelasan unsur dan sanksi atas setiap delik tersebut. Tahapan formulasi substansi materil hukum pidana ini merupakan tahapan yang paling menentukan karena berpengaruh atas sinkronisasi substansi hukum dengan struktur/sistem hukum. Oleh karenanya, pembaharuan hukum pidana tidak dapat hanya dilakukan terhadap perubahan atas hukum pidana materil saja, namun harus pula diseiringkan dengan perubahan atas hukum pidana materil. Sehingga idealnya pembaharuan dalam bentuk RUU KUHP yang baru harus pula diikuti penyesuaian bentuk RUU KUHAP yang baru. Karena instrumen materil hukum pidana tidak akan efisien tanpa adanya instrumen formilnya.

Formulasi substansi formil hukum pidana formil sedapat mungkin mencerminkan kepastian hukum terhadap batasan-batasan kewenangan instrumen yudikatif dalam penegakan hukum. Sehingga tidak terjadi tumpang tindih kewenangan antara aparat penegak hukum dalam penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pengadilan dan pengeksekusian. Sehingga akan mempermudah dalam pengaplikasian dan pengeksekusian lebih lanjut substansi materil dan formil itu sendiri.

Dengan demikian, khususnya untuk tindak pidana korupsi, pemformulasian yang sedemikian rupa tersebut diharapkan tidak akan menghilangkan karakteristik kekhususan tindak pidana korupsi tersebut sebagai kejahatan luar biasa (ekstra extra ordinary crime), maupun kewenangan instrumen-instrumen penegak hukum khusus atas tindak pidana korupsi, mulai dari KPK, Kepolisian, Kejaksaan, hingga Peradilan Tipikor.

Pembaharuan atas Substansi dan Struktur/Sistem Hukum Pidana ini pada akhirnya dengan sendirinya akan memperbaiki budaya hukum itu sendiri. Dengan meminimalisir celah-celah dalam substansi dan struktur/sistem hukum pidana tersebut akan terbentuk perilaku dan hubungan antara penegak hukum yang baik dan selaras satu sama lain, sehingga mendukung jalannya penegakan hukum itu sendiri sekaligus mengembalikan kepercayaan masyarakat atas penegakan hukum terutama atas tindak pidana korupsi.***

Catatan Kaki:
1) Tim Naskah Akademik RUU-KUHP, 2010. “Naskah Akademis RUU KUHP”. Laporan Akhir Tim Naskah Akademik RUU-KUHP. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM.
2) Barda Nawawi Arief, 2007, RUU KUHP Baru: Sebuah Restrukturisasi/Rekonstruksi Sistem Hukum Pidana Indonesia, Semarang: Penerbit Pustaka Magister, hlm. 26.

Spesial Untuk Anda:

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar