Skip to main content
Boy Yendra Tamin

follow us

Pencegahan Korupsi Dengan Mengedepankan Budaya Malu

Oleh : Alex Yuliandra, SH
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Bung Hatta

Banyak kalangan yang beranggapan bahwa korupsi di Indonesia telah membudaya.  Hal ini dikarenakan tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia sudah sangat memprihatinkan, dimana korupsi begitu mengakar dalam setiap sendi kehidupan bukan saja perorangan bahkan sudah berkelompok yang semakin canggih dan sistematis yang berdampak pada jumlah kerugian keuangan negara karena lingkupnya sudah meluas pada lapisan masyarakat. Meningkatnya tindak pidana korupsi apabila tidak diberantas akan membawa bencana terhadap kehidupan perekonomian nasional, berbangsa serta bernegara. Tindak pidana korupsi tidak lagi dapat dikategorikan sebagai suatu kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan yang luar biasa ( extra ordinary crime ). Oleh karena itu dalam penanganannya pun juga menggunakan cara-cara yang luar biasa.

Berdasarkan latar belakang sejarahnya, pengertian korupsi itu nampaknya sangat berkaitan erat dengan sistem kekuasaan dan pemerintahan di zaman dulu maupun di zaman modern ini. Adapun pengertian korupsi dikaji dari bahasa latin yaitu corruptio yang mempunyai arti suatu perbuatan busuk, buruk, bejat, tidak jujur, dapat disuap, tidak bermoral, menyimpang dari kesucian, dan kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah. Lord Acton, menghubungkan korupsi dengan kekuasaan dalam kata-katanya yang terkenal “Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely”. Secara umum korupsi diartikan sebagai penyalah gunaan jabatan atau kekuasaan publik untuk keuntungan privat. Sedangkan menurut Andi Hamzah (2006:5-6) arti harafiah dari kata “korupsi” ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidak jujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah).

Dalam pemberantasan tindak pidana korupsi bukan hanya aspek penindakan yang harus dilakukan, tetapi yang tidak kalah penting adalah aspek pencegahan. Selama ini pemerintah lebih cenderung mengedepankan aspek penindakan daripada aspek pencegahan. Upaya pencegahan ini bisa dilakukan dengan melakukan Transformasi Budaya sebagai Upaya Awal Pemberantasan Korupsi. Bahwa untuk membasmi korupsi dinegara kita ini, di mana korupsi berakar pada kebudayaan lama, dan berasal dari birokrasi-patrimonial dari masa feodal yang lampau, tetapi yang nilai-nilainya masih bekerja dalam diri kita, maka hanya dengan melakukan transformasi budaya yang tuntas, barulah kita mempunyai harapan yang baik untuk dapat berhasil memberantas korupsi di negara kita.

Aspek budaya hukum mempunyai peranan yang sangat penting dalam penegakan hukum pidana di Indonesia. Menurut Lawrence M. Friedman menjelaskan mengenai konsep budaya hukum adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum- kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Dengan kata lain budaya hukum adalah (Ali,2003:9) suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalahgunakan, tanpa adanya budaya/kultur hukum maka sistem hukum sendiri tak berdaya. Unsur budaya hukum ini mencakup opini-opini, kebiasaan-kebiasaan, cara berpikir, dan cara bertindak baik kepemimpinan dalam hal ini presiden, pejabat penyelenggara negara, pejabat aparatur negara, maupun dari aparat penegak hukum. kesemuanya harus memberikan teladan untuk tidak melanggar aturan hukum seperti melakukan tindak pidana korupsi, Hal ini dikarenakan budaya masyarakat Indonesia suka mengikuti atau meniru apa yang dilakukan pimpinannya. Tanpa budaya hukum maka sistem hukum akan kehilangan kekuatannya seperti yang di katakan Lawrence M. Friedman: "without legal culture, the legal system is meet-as dead fish lying in a basket, not a living fish swimming in its sea".

Budaya hukum dapat mengurangi tindak pidana korupsi apabila: (a) masyarakat maupun di tingkat pejabat di lingkup eksekutif, legislatif maupun yudikatif mempunyai rasa malu untuk melakukan korupsi, (b) pemimpin bangsa yang dalam hal ini Presiden dan para pimpinan penyelenggara negara dapat menjadi teladan untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka korupsi dapat dikurangi. Hal ini dikarenakan budaya masyarakat Indonesia selalu mengikuti tingkah laku pimpinannya.

Kecenderungan masyarakat kita mencontoh atau meniru apa yang dilakukan oleh pimpinannya tersebut harusnya disikapi oleh pimpinan untuk berbuat dan bertindak sesuai koridor hukum. Dalam hal ini budaya malu perlu ditanamkan kepada para pemimpin dan juga yang dipimpin, karena rasa malu bisa menjadi filter bagi seseorang baik itu pemimpin untuk melakukan tindak pidana dalam hal ini tindak pidana korupsi, Seperti malu menerima suap, malu melakukan penyuapan, malu melakukan mark up (penggelembungan harga) dan lain sebagainya. Jika pemimpin tidak mau di suap tentunya bawahan tidak akan mau menyuap.

Budaya malu juga harus ditanamkan dalam diri aparat penegak hukum baik itu Polisi, Jaksa, Advokat/ Pengacara dan hakim agar mereka bekerja sesuai sumpah jabatan yang mereka ucapkan. Karena jika tidak maka penegakan hukum terutama dalam pemberantasan tindak pidana korupsi tidak akan berjalan, hal ini dikarenakan Polisi Jaksa, Advokat/ Pengacara dan Hakim adalah empat pilar penegakan hukum di republik ini.

Budaya malu juga akan menjadikan seseorang menjadi lebih berpikir jauh untuk melakukan tindak pidana korupsi karena efek yang ditimbulkannya bukan hanya terhadap dirinya sendiri, tetapi juga keluarga dan orang-orang dekatnya. Apabila budaya malu ini dapat di aplikasikan maka penulis yakin pemberantasan tindak pidana korupsi akan berjalan dengan baik, karena budaya malu dijadikan dasar dari aspek pencegahan tindak pidana korupsi.

Terakhir penulis berkesimpulan bahwa untuk menuntaskan tindak pidana korupsi, langkah pertama yang harus kita lakukan adalah transformasi budaya, yaitu dengan mengidentifikasikan nilai-nilai budaya mana yang harus kita buang dan nilai-nilai baru apa yang perlu kita kembangkan melalui pendidikan, pemberian teladan, dan sebagainya. Selanjutnya, melalui upaya preventif seperti penyuluhan hukum dan penyuluhan keagamaan serta melalui upaya represif diantaranya: pelaksanaan asas pembuktian terbalik, memperkeras sanksi hukum, dan meningkatkan pengawasan. Sukses tidaknya pemerintah dalam memberantas korupsi juga ditentukan dari political will pemimpin negara yang harus menyatakan perang terhadap korupsi secara konsisten. Jika semua itu dilakukan dengan benar maka negara kita pasti akan terbebas dari korupsi.***

Spesial Untuk Anda:

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar