Skip to main content
Boy Yendra Tamin

follow us

Tanggul Polisi Tidur versus Mitigasi Bencana

Oleh: Dr. Badrul Mustafa, DEA
Forum PRB (Pengurangan Risiko Bencana) Sumbar

Polisi tidur merupakan sebuah istilah yang sudah umum dipakai untuk menggambarkan sebuah halangan di tengah jalan yang sengaja dibuat orang agar pengendara melambatkan kendaraannya ketika melewati sebuah komplek perumahan atau kampung. Ini merupakan isyarat atau warning agar pengendara kendaraan bermotor tidak boleh menjalankan kendaraannya dengan kecepatan normal, apalagi tinggi. Biasanya tanggul ini lebih ditujukan kepada kendaraan jenis sepeda motor, karena sering jenis ini berlari kencang sehingga sering terjadi kecelakaan, terutama bila ia dikendarai oleh seorang anak muda atau ABG.

Demikianlah yang sering terjadi bila anak muda (ABG) bersepeda motor. Banyak yang hanya bisa menjalankan sepeda motor tanpa tahu sopan santun di jalan raya serta kurang perhitungan dan tidak paham aturan berlalu-lintas (rambu-rambu). Akibatnya banyak ABG ini menimbulkan ketakutan pada pengendara lain, dan juga terutama anak-anak kecil yang belum punya kemampuan untuk mengantisipasi agar terhindar dari kecelakaan/tabrakan. Untuk itu dibuatlah tanggul di dalam komplek perumahan sebagai jalan keluarnya. Namun tindakan membuat tanggul ini sekarang menjadi ungkapan “menyelesaikan masalah dengan menimbulkan masalah lain”.

Masalah lain tersebut diantaranya adalah:

  1. Ketidaknyamanan berkendara. Ini pasti, karena setiap orang yang melewati tanggul buatan ini, maka ia bersama kendaraannya akan terlonjak-lonjak. Apalagi kalau orang tersebut tidak mahir mengatur gas dan rem kendaraan, atau ia terlambat tahu adanya tanggul. Terlebih-lebih lagi bila tanggul dibuat dengan desain tanpa perasaan, yakni dibuat terlalu tinggi dan agak runcing di puncaknya.
  2. Sering tanggul dibuat tanpa diberi warna (tanda) khusus, misalnya dengan cat putih, sehingga bisa tidak diketahui keberadaannya, terutama pada malam hari. Akibatnya bisa terjadi benturan yang cukup keras, yang dapat merusak onderdil kendaraan. Bagi sepeda motor bahkan bisa terjatuh.
  3. Dengan adanya tanggul ini, maka jalan yang semula mulus menjadi lebih cepat rusak.
  4. Kadang-kadang ketika ada bagian tanggul yang sumbing karena dimakan usia, misalnya selebar beberapa centimeter atau belasan centimeter, maka celah ini sering menjadi rebutan sepeda motor dari kedua arah. Atau ketika tanggul tidak dibuat sepenuh jalan, atau tidak sampai ke ujungnya, maka sepeda motor tidak berkurang kecepatannya. Ia akan berusaha memanfaatkan ujung jalan yang tak bertanggul ini tanpa perlu mengurangi kecepatannya. Yang terganggu justru hanya kendaraan roda empat saja. Jadi, maksud semula dalam pembuatan tanggul ini untuk menghalangi sepeda motor berjalan kencang, tidak tercapai. Sehingga kendaraan roda empatlah yang teraniaya karenanya, yang biasanya di dalam komplek perumahan justru jarang yang ngebut. Yang sering ngebut itu biasanya pengendara sepeda motor.

Fenomena tanggul ini menjadi semakin salah kaprah. Ia tidak lagi dibuat di jalan-jalan dalam lingkungan komplek perumahan saja, tapi juga sudah mulai dibuat di jalan-jalan umum. Di kota Padang sangat banyak contohnya. Misalnya antara lain Jalan Lubuk Lintah, Jalan Kalumbuak, Jalan Belanti dan beberapa jalan di lingkungan sekitar Khatib Sulaiman dan Padang Baru, Jalan Kuranji dan banyak lagi yang lainnya. Pada beberapa jalan di kota Bukittinggi juga terjadi.

Salah satu masalah besar yang timbul pada tanggul di jalan besar ini adalah ketika terjadi bencana. Misalnya kebakaran. Mobil pemadam kebakaran akan kerepotan melewati jalan-jalan bertanggul ini ketika menuju rumah yang terbakar. Ia terpaksa mengerem kendaraan dan akan kehilangan waktu ketika melewati tanggul-tanggul ini. Padahal bagi mobil pemadam kebakaran waktu sekian detik apalagi menit sangat berarti baginya. Tentu bagi masyarakat yang sedang menunggu mobil pemadam kebakaran tersebut, keterlambatan waktu hitungan detik atau menit itu juga sangat berarti. Begitu juga barangkali untuk mobil ambulance yang membawa orang sakit yang perlu cepat sampai di rumah sakit.

Sebagai daerah yang rawan terhadap bencana gempa dan tsunami, maka mitigasi merupakan sebuah keniscayaan yang harus dibuat untuk meminimalisir risiko. Salah satu upaya dalam mitigasi bencana tsunami adalah evakuasi horizontal, yakni pergi menjauhi daerah pantai menuju daerah berketinggian di atas 8 meter DPL (di atas permukaan laut). Untuk itu jalan-jalan evakuasi harus dibuat cukup lebar dan semulus mungkin. Halangan dan rintangan harus dihilangkan sama sekali. Dengan demikian, adanya tanggul di jalan-jalan di kota Padang dan daerah lain yang rawan bencana gempa/tsunami sangat tidak tepat dan harus dibongkar. Kecuali tanggul kecil dengan istilah pita kejut yang biasa terdapat di dekat rel kereta api atau di beberapa tempat rawan kecelakaan di jalan raya. Pita kejut ini dibuat tidak tinggi, tapi cukup memberi peringatan kepada setiap pengendara agar berhati-hati, tanpa menimbulkan risiko terjatuh bagi sepeda motor atau risiko rusak/ausnya onderdil mobil.

Menurut seorang pejabat Dinas Perhubungan Propinsi Sumatera Barat ketika penulis tanya soal tanggul ini, beliau menjawab bahwa pada dasarnya tanggul di jalan raya dibuat dengan fungsi sekadar mengingatkan pemakai jalan agar berhati-hati dalam mengendarai kendaraannya. Tempat pembuatannya pun terbatas di tempat-tempat khusus seperti jalan lurus mulus yang cukup panjang, dengan tujuan agar pengendara tidak terlena atau mengantuk. Tempat berikutnya adalah di dekat perlintasan kereta api, dengan tujuan agar pengendara berhati-hati terhadap kemungkinan kereta api lewat. Hanya itu fungsi tanggul menurut pejabat Dinas Perhubungan tersebut. Tidak ada tujuan pembuatan tanggul untuk menghambat atau memperlambat laju kendaraan. Pembuatannya pun sedemikian rupa, sehingga ia tidak membahayakan pengendara, dan tidak berisiko terhadap kerusakan (onderdil) kendaraan.

Kenapa muncul fenomena polisi tidur atau tanggul ini? Menurut penulis, hal ini merupakan fenomena masyarakat kita yang tidak seimbang dalam menegakkan ‘amar ma’ruf nahi munkar. Atau dalam istilah umum sehari-hari reward and punishment. Kita sering lebih suka memilih memberikan reward dan tidak mau atau menghindar memberikan punishment (hukuman). Di kantor-kantor, terutama kantor pemerintah, konon kabarnya banyak pimpinan menghindari punishment, meskipun seorang pegawai sudah sangat layak untuk mendapatkannya. Kenapa demikian? Karena memberikan punishment kadang-kadang ada risikonya. Risikonya misalnya perlawanan dari bawahan yang membangkang tersebut. Bisa panjang urusannya. Sedangkan memberikan reward atau penghargaan terhadap pegawai yang berprestasi tidak ada risikonya.

Begitu pula dengan fenomena tanggul tadi. Ini adalah cerminan masyarakat kita yang tidak seimbang dalam menegakkan ‘amar ma’ruf dan nahi munkar (reward and punishment). Kita tidak berani berhadapan dengan para pengebut di komplek atau jalan raya. Takut repot berurusan dengan anak-anak muda yang tidak sopan ini. Atau takut berurusan dengan orangtua si anak muda. Jalan pintas yang dipilih adalah membuat polisi tidur atau tanggul.

Namun setelah melihat lebih banyak mudharat atau kerugian dengan adanya tanggul-tanggul ini, terutama yang terkait dengan jalur evakuasi di daerah rawan gempa dan tsunami dalam upaya mitigasi, maka keberadaan tanggul-tanggul sangat tidak tepat. Jadi, perlu ditinjau ulang. Lebih baik kita berani menegur atau memberi sanksi kepada para pelanggar aturan dengan sistem yang baik daripada membuat tanggul.

* Penulis Dosen UNAND dan Anggota Forum PRB (Pengurangan Risiko Bencana) Sumbar

Spesial Untuk Anda:

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar