Oleh: Widya Yoseva, SH
Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Korupsi Pada Otonomi Daerah
Otonomi daerah dibuat dengan tujuan agar daerah-daerah dapat mengelola secara mandiri segala sumberdaya, keuangan, maupun sumber-sumber lain sebagai pendapatan bagi daerah. Antusias yang tinggi “untuk meningkatkan kemajuan daerah” terlihat dari banyaknya daerah-daerah yang meminta dimekarkan sehingga terjadi pemekaran daerah besar-besaran di seluruh wilayah Indonesia. Yang menarik dari “proses mekarnya suatu daerah” ini adalah menjamurnya praktik korupsi yang dilakukan oleh oknum yang bernama pemimpin/petinggi di daerah.
Korupsi berasal dari suatu kata dalam bahasa Inggris yaitu corrupt, yang berasal dari perpaduan dua kata dalam bahasa latin yaitu com yang berarti bersama-sama dan rumpere yang berarti pecah dan jebol. Menurut Bernardi (1994) istilah korupsi juga dapat diartikan sebagai suatu perbuatan tidak jujur atau penyelewengan yang dilakukan karena adanya suatu pemberian. Sementara Hermien H.K. (1994) mendefinisikan korupsi sebagai kekuasaan tanpa aturan hukum. Oleh karena itu, selalu ada praduga pemakaian kekuasaan untuk mencapai suatu tujuan selain tujuan yang tercantum dalam pelimpahan kekuasaan tersebut.
Kasus korupsi memang sudah menyebar dari berbagai lapis dan lini birokrasi. Ketika otonomi daerah digulirkan, banyak kalangan menyambutnya dengan sikap optimis . rasa bosan dan trauma terhadap kekuasaan monolitik yang bertumpu di Jakarta, disadari atau tidak telah melahirkan Era Baru yang dinilai akan sanggup menyejahterakan rakyat. Otonomi daerah diharapkan akan mampu menumbuhkembangkan potensi genius lokal sehingga kesenjangan ekonomi antar daerah bisa dikurangi, tingkat kesejahteraan makin merata, rakyat makin makmur , bangsa kian mandiri, dan muncul semangat lokal berbasis global untuk memicu adrenalin-adrenalin baru dalam membangun pranata kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sejarah mencatat praktik korupsi di Indonesia sudah tumbuh subur dari masa ke masa. Praktik korupsi seiring dengan jalannya sistem penyelenggaraan pemerintahan. Penyelenggaraan pemerintahan yang diharapkan dapat menyejahterakan rakyat Indonesia. Suatu niat suci tetapi telah disalahartikan. Dari masa ke masa praktik korupsi di Indonesia semakin meningkat dan meluas. Hal tersebut seiring dengan kondisi pemerintahan yang berlaku. Praktik korupsi pada masa orde lama tidaklah tercium karena kondisi politik dan ekonomi pada saat itu belumlah stabil.
Semenjak Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah digulirkan, daerah justru menjadi sarang korupsi yang kian sulit terkontrol. Praktik korupsi di era reformasi yang kian menyebar ke daerah dan melibatkan semakin banyak aktor ini tentu menggambarkan sebuah ironi dari desentralisasi. Yang mengkhawatirkan adalah, sebagian besar praktik korupsi di daerah justru dilakukan oleh kepala daerah dan anggota legislatif (DPRD) yang jelas-jelas di pilih oleh rakyat.
Dalam persepktif Hukum, batasan praktek Korupsi telah dijelaskan oleh UU. No. 31 tahun 1999 jo UU. No 20 tahun 2001 tentang pemberatasan tindak pidana korupsi. Setidaknya ada 30 pasal yang menunjukkan bentuk / jenis tindak pidana korupsi yang dapat dikategorikan sebagai berikut:
Kerugian uang negara;
- Suap menyuap;
- Penggelapan dalam jabatan;
- Pemerasan;
- Perbuatan curang;
- Benturan kepentingan dalam pengadaan;
- Gratifikasi /hadiah dan hal-hal lain tindak pidana lain terdapat 6 pasal yang berkaitan tindak pidana korupsi. (KPK, 2006 ).
- Pengadaan Barang dana Jasa Pemerintah dengan mark up harga dan merubah spesifikasi barang.
- Penggunaan sisa dana tanpa dipertanggungjawabkan & tanpa prosedur
- Penyimpangan prosedur pengajuan & pencairan dana kas daerah
- Manipulasi sisa APBD
- Manipulasi dalam proses pengadaan/perijinan/konsensi hutan
- Gratifikasi dari Bank Pembangunan Daerah penampung dana daerah
- Bantuan Sosial tidak sesuai peruntukannya
- Menggunakan APBD untuk keperluan Keluarganya dan koleganya
- Menerbitkan Peraturan Daerah untuk upah pungut pajak;
- Ruislag/tukar guling tanah dengan mark down harga
- Penerimaan Fee Bank
1. Pola konvensional,
2. Pola upeti,
3. Pola komisi,
4. Pola menjegal order,
5. Pola perusahaan rekanan,
6. Pola kuitansi fiktif dan
7. Pola penyalahgunaan wewenang.
Untuk menanggulangi terjadinya korupsi yang bermacam-macam jenisnya ini diperlukan strategi khusus dari semua bidang, meskipun untuk menghilangkan sama sekali praktik korupsi adalah sesuatu yang mustahil, tetapi setidaknya-tidaknya ada upaya untuk menekan terjadinya tindak korupsi. Strategi yang dibentuk hendaknya melibatkan seluruh lapisan masyarakat dan pejabat struktur pemerintahan.
Sementara menurut Fadjar (2002) pola terjadinya korupsi dapat dibedakan dalam tiga wilayah besar yaitu ;
Pertama, bentuk penyalahgunaan kewenangan yang berdampak terjadinya korupsi adalah pertama; Mercenery abuse of power, penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh orang yang mempunyai suatu kewenangan tertentu yang bekerjasama dengan pihak lain dengan cara sogok-menyogok, suap, mengurangi standar spesifikasi atau volume dan penggelembungan dana (mark up). Penyalahgunaan wewenang tipe seperti ini adalah biasanya non politis dan dilakukan oleh level pejabat yang tidak terlalu tinggi kedudukannya.
Kedua, Discretinery abuse of power, pada tipe ini penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pejabat yang mempunyai kewenangan istimewa dengan mengeluarkan kebijakan tertentu misalnya keputusan Walikota/Bupati atau berbentuk peraturan daerah/keputusan Walikota/Bupati yang biasanya menjadikan mereka dapat bekerjasama dengan kawan/kelompok (despotis) maupun dengan keluarganya (nepotis).
Ketiga, Idiological abuse of power, hal ini dilakukan oleh pejabat untuk mengejar tujuan dan kepentingan tertentu dari kelompok atau partainya. Bisa juga terjadi dukungan kelompok pada pihak tertentu untuk menduduki jabatan strategis di birokrasi/lembaga eksekutif, dimana kelak mereka akan mendapatkan kompensasi dari tindakannya itu, hal ini yang sering disebut politik balas budi yang licik. Korupsi jenis inilah yang sangat berbahaya, karena dengan praktek ini semua elemen yang mendukung telah mendapatkan kompensasi.
Faktor-faktor terjadinya korupsi disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:
Sistem pemerintahan dan birokrasi yang memang kondusif untuk melakukan penyimpangan,
- Belum adanya sistem kontrol dari masyarakat yang kuat, dan belum adanya perangkat peraturan dan perundang-perundangan yang tegas.
Menurut Arifin (2000) faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi adalah:
Aspek perilaku individu organisasi,
Aspek organisasi, danAspek masyarakat tempat individu dan organisasi berada.Sementara menurut Lutfhi (2002) faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi adalah:
motif, baik motif ekonomi maupun motif politik,
- peluang, dan
- lemahnya pengawasan.
1. Aspek Perilaku individu
Apabila dilihat dari segi pelaku korupsi, sebab-sebab dia melakukan korupsi dapat berupa dorongan dari dalam dirinya, yang dapat pula dikatakan sebagai keinginan, niat, atau kesadaran untuk melakukan.
Sebab-sebab manusia terdorong untuk melakukan korupsi antara lain:
sifat tamak manusia,
- moral yang kurang kuat menghadapi godaan,
- penghasilan kurang mencukupi kebutuhan hidup yang wajar,
- kebutuhan hidup yang mendesak,
- gaya hidup konsumtif,
- tidak mau bekerja keras, dan
- ajaran-ajaran agama kurang diterapkan secara benar.
2. Aspek Organisasi Kepemerintahan
Organisasi dalam hal ini adalah organisasi dalam arti yang luas, termasuk sistem pengorganisasian lingkungan masyarakat. Organisasi yang menjadi korban korupsi atau dimana korupsi terjadi biasanya memberi adil terjadinya korupsi karena membuka peluang atau kesempatan untuk terjadinya korupsi (Tunggal, 2000). Bilamana organisasi tersebut tidak membuka peluang sedikitpun bagi seseorang untuk melakukan korupsi, maka korupsi tidak akan terjadi.
Aspek-aspek penyebab terjadinya korupsi dari sudut pandang organisasi ini meliputi:
a. Kurang adanya teladan dari pimpinan,b. Tidak adanya kultur organisasi yang benar,c. Sistem akuntabilitas di instansi pemerintah kurang memadai, dand. Manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam organisasinya.3. Aspek Peraturan Perundang-Undangan
Tindakan korupsi mudah timbul karena ada kelemahan di dalam peraturan perundang-undangan, yang dapat mencakup: (a) adanya peraturan perundang-undangan yang monolistik yang hanya menguntungkan kerabat dan “konco-konco” presiden, (b) kualitas peraturan perundang-undangan kurang memadai, (c) peraturan kurang disosialisasikan, (d) sangsi yang terlalu ringan, (e) penerapan sangsi yang tidak konsisten dan pandang bulu, dan (f) lemahnya bidang evalusi dan revisi peraturan perundang-undangan. Beberapa ide strategis untuk menanggulangi kelemahan ini telah dibentuk oleh pemerintah diantaranya dengan mendorong para pembuat undang-undang untuk melakukan evaluasi atas efektivitas suatu undang-undang secara terencana sejak undang-undang tersebut dibuat.
Lembaga-lembaga ekskutif (Bupati/Walikota dan jajarannya) dalam melakukan praktek korupsinya tidak selalu berdiri sendiri, akan tetapi melalui suatu konspirasi dengan para pengusaha atau dengan kelompok kepentingan lainnya misalnya, dalam hal penentuan tender pembangunan yang terlebih dahulu pengusaha menanamkan saham kekuasaannya lewat proses pembiayaan pengusaha dalam terpilihnya bupati/Walikota tersebut. Kemudian mereka secara bersama-sama dengan DPRD, Bupati/Walikota membuat kebijakan yang koruptif yang hanya menguntungkan sebagian kecil masyarakat yaitu para kolega, keluarga maupun kelompoknya sendiri. Dengan kemampuan lobi kelompok kepentingan dan pengusaha kepada pejabat publik yang berupa uang sogokan, hadiah, hibah dan berbagai bentuk pemberian yang mempunyai motif koruptif telah berhasil membawa pengusaha melancarkan aktifitas usahanya yang berlawanan dengan kehendak masyarakat, sehingga masyarakat hanya menikmati sisa-sisa ekonomi kaum borjuasi atau pemodal yang kapitalistik. Dari kasus ini dapat disimpulkan bahwa terjadinya korupsi APBD sangat mungkin jika aspek peraturan perundang-undangan sangat lemah atau hanya menguntungkan pihak tertentu saja. Hal senada juga dikemukakan oleh Basyaib, dkk (2002) yang menyatakan bahwa lemahnya sistem peraturan perundang-undangan memberikan peluang untuk melakukan tindak pidana korupsi.
4. Aspek Pengawasan
Pengawasan yang dilakukan instansi terkait (BPKP, Itwil, Irjen, Bawasda) kurang bisa efektif karena beberapa faktor, diantaranya:
adanya tumpang tindih pengawasan pada berbagai instansi,
- kurangnya profesionalisme pengawas,
- kurang adanya koordinasi antar pengawas
- kurangnya kepatuhan terhadap etika hukum maupun pemerintahan oleh pengawas sendiri.
Secara umum pengawasan terbagi menjadi dua, yaitu pengawasan internal (pengawasan fungsional dan pengawasan langsung oleh pimpinan) serta pengawasan bersifat eksternal (pengawasan dari legislatif dan masyarakat). Dimana pengawasan ini kurang bisa efektif karena adanya beberapa faktor, diantaranya adanya tumpang tindih pengawasan pada berbagai instansi, kurang profesionalismenya pengawas serta kurangnya kepatuhan pada etika hukum maupun pemerintahan oleh pengawas sendiri. Dan berkaitan dengan hal ini pengawas sendiri sering kali terlibat dalam praktek korupsi. Baca tulisan sebelumnya klik disini. Bersambung Klik Disini