Pemilihan umum (pemilu) adalah pilar utama dalam sistem demokrasi.
Di Indonesia, pemilu tidak hanya menjadi mekanisme pergantian kekuasaan, tetapi
juga arena konsolidasi demokrasi, partisipasi rakyat, dan representasi politik.
Perjalanan panjang pemilu Indonesia, dari masa kolonial hingga era digital saat
ini, memperlihatkan dinamika politik, hukum, dan sosial yang kompleks.
1. Masa
Pra-Kemerdekaan:
Benih Demokrasi di Era Kolonial Sebelum Indonesia merdeka,
konsep perwakilan rakyat telah diperkenalkan oleh pemerintah kolonial Belanda
melalui pembentukan Volksraad (Dewan Rakyat) pada 1918. Volksraad adalah lembaga
semu perwakilan yang memberi ruang terbatas bagi bumiputera untuk menyuarakan
aspirasi. Anggotanya sebagian kecil dipilih melalui sistem seleksi dan sisanya
diangkat oleh pemerintah kolonial. Tidak ada sistem pemilu langsung bagi rakyat
Indonesia. Meski terbatas, lembaga ini menjadi cikal bakal kesadaran politik dan
demokrasi yang kelak berkembang setelah kemerdekaan.
2. Masa Awal Kemerdekaan
(1945–1955):
Mencari Format Demokrasi Setelah proklamasi 1945, Indonesia
menerapkan UUD 1945 yang mengandung prinsip kedaulatan rakyat. Namun karena
situasi revolusi, pemilu pertama baru dapat dilaksanakan pada 1955. Pemilu 1955
adalah pemilu pertama yang demokratis untuk memilih anggota Konstituante dan
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Diikuti oleh 29 partai politik dan beberapa calon
perseorangan. Tingkat partisipasi pemilih mencapai 91,5% (data KPU), yang sangat
tinggi. Pemilu ini menjadi tonggak penting, sekaligus mencerminkan keragaman
politik bangsa yang baru merdeka.
3. Masa Orde Lama (1959–1965):
Demokrasi
Terpimpin, Pemilu Ditiadakan Setelah pembubaran Konstituante oleh Presiden
Soekarno pada 1959 dan pemberlakuan kembali UUD 1945 melalui Dekrit Presiden,
sistem demokrasi parlementer diubah menjadi Demokrasi Terpimpin. Pemilu
ditiadakan. DPR diisi melalui penunjukan oleh Presiden. Peran partai politik
melemah, digantikan oleh kekuatan eksekutif dan militer. Masa ini ditandai oleh
pembatasan kebebasan politik dan sentralisasi kekuasaan.
4. Masa Orde Baru
(1966–1998):
Pemilu Rutin tapi Tidak Demokratis Setelah Soeharto berkuasa,
pemilu kembali dilaksanakan mulai tahun 1971, namun sistem yang diterapkan
bersifat semi-otoriter: Hanya 3 peserta pemilu diperbolehkan: Golkar, PPP, dan
PDI (hasil fusi parpol 1973). Pemilu diadakan setiap 5 tahun (1971, 1977, 1982,
1987, 1992, 1997). Golkar selalu menang mutlak dengan kontrol penuh dari negara
dan militer. Pemilu pada masa ini menjadi simbol stabilitas politik versi rezim,
namun penuh manipulasi dan rekayasa struktural.
5. Masa Reformasi
(1999–sekarang):
Demokratisasi dan Konsolidasi Pemilu 1999.
Pemilu bebas pertama
pasca-Orde Baru. Diikuti oleh 48 partai politik. Diawasi oleh lembaga
independen: KPU (Komisi Pemilihan Umum). Menandai kembalinya demokrasi
multipartai. Pemilu 2004. Pertama kali rakyat memilih Presiden secara langsung.
Penguatan sistem presidensial. Diperkenalkan pemisahan antara pemilu legislatif
dan eksekutif.
Pemilu 2009, 2014, dan 2019.
Sistem proporsional terbuka mulai
digunakan sejak 2009. Menekankan peran individu caleg dan meningkatkan kompetisi
internal partai. Pemilu 2019 pertama kali menerapkan pemilu serentak nasional,
memilih presiden dan seluruh anggota DPR, DPD, serta DPRD dalam satu hari.
Pemilu 2024.
Diikuti oleh 18 partai politik nasional. Penggunaan sistem
proporsional terbuka tetap dipertahankan. Penyelenggaraan menghadapi tantangan
serius: disinformasi digital, politik identitas, dan tekanan terhadap
penyelenggara pemilu.
6. Aspek Hukum dan Kelembagaan.
Sejak reformasi, regulasi
pemilu terus disempurnakan: UU No. 12 Tahun 2003, UU No. 10 Tahun 2008, UU No. 8
Tahun 2012, hingga UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menjadi kerangka hukum
utama. Dibentuk lembaga penyelenggara independen: KPU (penyelenggara teknis),
Bawaslu (pengawas), DKPP (penegak etika). Pemilu diatur untuk menjamin prinsip:
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (LUBER JURDIL).
7. Tantangan
Kontemporer Pemilu.
Politik Uang: Masih menjadi persoalan sistemik meski telah
dilarang. Disinformasi dan Hoaks: Marak di media sosial, memengaruhi persepsi
publik. Netralitas Aparat Negara: Masih jadi sorotan dalam setiap pemilu.
Polarisasi Sosial dan Politik Identitas: Menajam sejak 2014 hingga 2024.
Partisipasi Pemilih Muda: Generasi Z dan milenial jadi segmen kunci, tetapi
rentan terhadap politik simbolik.
8. Masa Depan Pemilu Indonesia:
Arah dan
Harapan. Indonesia telah membuktikan dirinya sebagai negara demokrasi terbesar
ketiga di dunia dengan lebih dari 200 juta pemilih pada 2024. Namun masa depan
pemilu memerlukan: Reformasi sistem proporsional agar lebih adil dan
representatif. Peningkatan literasi digital pemilih. Penguatan integritas
penyelenggara dan partai politik. Evaluasi teknis pemilu serentak yang dianggap
terlalu berat dan kompleks.
Penutup.
Perjalanan pemilu Indonesia dari masa
kolonial hingga kini memperlihatkan evolusi demokrasi yang penuh tantangan namun
progresif. Dari sistem yang tertutup dan otoriter, Indonesia kini menjadi salah
satu negara demokratis terbesar di dunia. Namun, demokrasi tidak pernah selesai
— ia menuntut pembaruan terus-menerus, agar pemilu tidak hanya menjadi
rutinitas, tetapi benar-benar menjadi cermin kehendak rakyat.