Skip to main content
Boy Yendra Tamin

follow us

Sejarah Hukum Agraria di Indonesia: Dari Alat Kolonial ke Cita-Cita Keadilan Sosial

 Pendahuluan

Sejarah hukum agraria di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sejarah bangsa itu sendiri. Tanah adalah panggung utama tempat rakyat membangun kehidupan. Dari sawah yang luas di Jawa, hutan adat di Sumatera, hingga ladang-ladang kecil di Nusa Tenggara, tanah selalu lebih dari sekadar benda mati: ia adalah sumber kehidupan, identitas, dan ruang eksistensi.

Karena itu, hukum agraria bukan hanya kumpulan pasal, melainkan cermin relasi kuasa. Siapa yang menguasai tanah, dialah yang menguasai kehidupan rakyat. Inilah mengapa perjalanan hukum agraria Indonesia penuh dinamika: dari instrumen kolonial yang melayani modal asing, hingga cita-cita nasional untuk menjadikan tanah sebagai milik bersama demi kemakmuran rakyat.


Masa Kolonial: Tanah Sebagai Komoditas Imperium

Ketika Belanda memperkenalkan Cultuurstelsel (1830–1870), rakyat dipaksa menanam tanaman ekspor untuk kepentingan kas kerajaan. Tanah yang tadinya milik komunitas berubah fungsi menjadi mesin penghasil komoditas dunia.

Kemudian hadir Agrarische Wet 1870, yang bagi Belanda dianggap modernisasi hukum tanah, tetapi bagi rakyat adalah awal dari dualisme hukum. Hukum adat hanya dipakai bila tidak menghalangi modal Eropa. Tanah ulayat yang semula menjadi milik bersama desa atau nagari, dengan mudah diklaim sebagai tanah negara lalu disewakan kepada investor asing melalui hak erfpacht.

Hukum agraria kolonial adalah hukum yang mendefinisikan tanah sebagai komoditas, bukan sebagai ruang hidup rakyat.


Masa Kemerdekaan: Tanah untuk Rakyat atau Negara?

Proklamasi 1945 membuka babak baru. UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) memberi landasan filosofis: bumi, air, dan kekayaan alam untuk kemakmuran rakyat. Namun, kenyataan tidak sesederhana itu.

Pada periode 1945–1960, hukum agraria masih bayangan kolonial. Rakyat merdeka, tapi banyak hak tanah masih terikat aturan lama. Perdebatan sengit muncul: apakah Indonesia perlu hukum baru yang seragam, atau cukup memodifikasi hukum adat?

Pertanyaan ini berujung pada kesadaran bahwa dibutuhkan hukum agraria nasional yang satu, adil, dan berpihak pada rakyat kecil.


UUPA 1960: Manifes Politik Agraria Nasional

Pada 24 September 1960, lahirlah Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Ia bukan sekadar produk hukum, melainkan manifesto politik.

UUPA hadir untuk:

  • Menghapus dualisme hukum kolonial vs adat.
  • Menegaskan tanah memiliki fungsi sosial.
  • Mengakui hak ulayat masyarakat adat dengan syarat selaras kepentingan nasional.
  • Menetapkan bahwa hanya warga negara Indonesia yang boleh memiliki hak milik atas tanah.

UUPA adalah jawaban atas luka kolonialisme. Namun, ia juga sebuah janji: janji bahwa tanah tidak boleh lagi menjadi alat penindasan, melainkan sarana kesejahteraan.


Orde Baru: Pembangunan, Sertifikasi, dan Konflik

Sayangnya, janji UUPA tidak sepenuhnya terpenuhi. Pada masa Orde Baru, kebijakan agraria diarahkan untuk mendukung industrialisasi dan investasi. Sertifikasi tanah digalakkan, tetapi reforma agraria yang sejati tidak berjalan.

Banyak tanah rakyat diambil untuk proyek besar, dari perkebunan kelapa sawit hingga kawasan industri. Konflik agraria meletup di banyak daerah, tapi suara rakyat sering kalah oleh kepentingan negara dan modal.

Hukum agraria pada masa ini sering ditafsirkan lebih sebagai alat pembangunan daripada alat keadilan sosial.


Reformasi dan Kontemporer: Kembali ke Cita-Cita UUPA?

Reformasi 1998 membuka pintu untuk menata ulang. Tekanan masyarakat sipil membuat isu reforma agraria kembali ke panggung politik.

Beberapa terobosan muncul:

  • Program PTSL (sertifikasi tanah massal).
  • Redistribusi tanah dalam kerangka reforma agraria.
  • Putusan MK 35/2012 yang menegaskan hutan adat bukan hutan negara.

Namun, jalan masih terjal. Konflik agraria meningkat, data KPA 2022 mencatat ratusan kasus setiap tahun. Ketimpangan kepemilikan tanah masih lebar: segelintir korporasi menguasai jutaan hektar, sementara banyak petani tidak memiliki lahan sama sekali.


Analisis: Hukum Agraria Sebagai Cermin Pertarungan Sosial

Jika ditarik garis besar, sejarah hukum agraria Indonesia selalu bergerak antara dua kutub:

  • Tanah sebagai komoditas → logika kolonial, pembangunan, dan modal.
  • Tanah sebagai ruang hidup → logika adat, rakyat kecil, dan cita-cita keadilan sosial.

UUPA 1960 adalah upaya menengahi, tapi implementasinya bergantung pada politik setiap rezim.


Kesimpulan

Sejarah hukum agraria Indonesia adalah sejarah perebutan makna tanah. Dari alat imperium kolonial, tanah diangkat menjadi simbol kedaulatan rakyat melalui UUPA 1960. Namun, perjuangan belum selesai.

Hari ini, hukum agraria menghadapi ujian baru: bagaimana menyeimbangkan investasi, pembangunan, dan keadilan sosial. Selama rakyat kecil masih terusir dari tanahnya, cita-cita UUPA belum tuntas.

Hukum agraria Indonesia bukan hanya teks undang-undang, melainkan cermin perjalanan bangsa dalam mencari keadilan.


Daftar Pustaka

  1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
  2. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  3. Harsono, Boedi. (2008). Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan, Isi, dan Pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan.
  4. Kusumaatmadja, Mochtar. (1986). Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan Nasional. Bandung: Alumni.
  5. Badan Pertanahan Nasional (BPN). (2016). Sejarah Pertanahan Indonesia. Jakarta: BPN.
  6. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). (2022). Catatan Akhir Tahun Konflik Agraria. Jakarta: KPA.
  7. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012.

Spesial Untuk Anda:

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar