Skip to main content
Boy Yendra Tamin

follow us

Peran Niniak Mamak Dalam Menyelesaikan Kasus Sengketa Tanah Antara Kemenakan

Oleh: Safriadi

Pascasarjana Universitas Bung Hatta Padang

Abstrak

Sengketa lumrah terjadi di berbagai wilayah Indonesia termasuk di Sumatera Barat. Sengketa tanah yang terjadi dapat berupa sengketa batas atau sengketa kepemilikan. Apabila terjadi sengketa biasanya masyarakat atau kemenakan akan mengadukan permasalahan kepada tokoh adat atau niniak mamak yang merupakan pihak yang didahulukan selangkah dan lebih ditinggikan seranting. Biasanya niniak mamak dalam menyelesaikan permasalahan sengketa tanah, maka mereka akan mengedepan musyawarah mufakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sumber pengetahuan yang digunakan oleh niniak mamak dalam permasalahan tersebut dan metode penalaran apa yang digunakan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan melakukan studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan niniak mamak dalam menyelesaikan sengketa tanah antara kemenakannya menggunakan pengalaman sebagai sumber pengetahuannya dan metode penalaran yang digunakan adalah metode dialetika atau dialog.

Kata kunci: Niniak, Mamak, tanah, Minangkabau, sumber

Pendahuluan

Manusia dan tanah memiliki hubungan yang sangat erat karena tanah memiliki peranan yang penting dalam kehidupan manusia. Tanah merupakan tempat manusia tinggal dan merupakan sumber penghidupan terutama bagi mereka bekerja dalam bidang pertanian. Bagi mereka yang bekerja dalam bidang pertanian, maka tanah merupakan harta yang tidak dapat dinilai harganya bahkan tanah dianggap sebagai kebutuhan primer manusia.

Kepemilikan atas tanah merupakan salah satu bentuk kesejahteraan dalam masyarakat. Kepemilikan tanah bagi masyarakat yang taat dan patuh pada aturan akan dibuktikan dengan surat kepemilikan yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang dalam hal ini badan pertanahan nasional setempat. Hal ini mereka lakukan agar tidak menimbulkan sengketa di kemudian hari, sehingga bagi mereka mempunyai bukti kepemilikan yang sah seperti sertifikat jual beli akan menghindarkan mereka dari sengketa tanah yang akan timbul.

Namun, tidak semua anggota masyarakat yang taat atau paham hukum, sehingga masih banyak ditemukan anggota masyarakat yang kurang paham bahkan tidak paham sama sekali dengan arti penting sertifikat tanah. Akibatnya sering ditemukan dalam masyarakat adanya sengketa tentang tanah, baik atas tanah yang sedang mereka garap maupun tanah yang sebenarnya merupakan milik mereka.

Sengketa atas tanah pada dasarnya timbul karena adanya dua pihak baik perorangan, suku, ataupun kelompok yang saling mengklaim atau menganggap bahwa tanah tersebut merupakan hak mereka atau masing-masing pihak saling merasa bahwa tanah tersebut milik mereka. Adanya dua pihak yang saling menganggap tanah itu adalah milik mereka, maka permasalahan tersebut membutuhkan penyelesaian agar pihak yang bertikai dapat memperoleh kepastian atas kepemilikan tanah itu.

Masalah tanah dapat menimbulkan sengketa hukum yang diawali dengan pengaduan atau laporan dari seseorang yang berisi keberatan atau tuntutan hak atas tanah, baik mengenai status tanah maupun status kepemilikan tanah dengan harapan memperoleh penyelesaian sesuai dengan ketentuan yang berlaku.[ Prisia Lembang, 2018, ‘Peranan Tokoh Masyarakat Dalam Penanganan Masalah Sengketa Tanah di Desa Sulu Kecamatan Tatapaan Kabupaten Minahasa Selatan’, Holistik: Journal Social and Cultural Anthropology, Volume X, Nomor 21A/Januari-Juni 2018, halaman 2.] Persoalan atau sengketa yang muncul tersebut biasanya tidak serta merta dibawa ke ranah hukum atau pengadilan yang berwenang, tetapi dibawa kepada tokoh masyarakat pada daerah mereka berada.

Ada beberapa bentuk  jenis sengketa tanah yang terjadi dalam masyarakat, di antaranya:

1)Penguasaan tanah tanpa hak, ialah sengketa yang terjadi karena adanya perbedaan pandangan atau pendapat mengenai status penguasaan tanah yang digunakan oleh seseorang atau pihak tertentu. Contoh dalam masyarakat di Sumatera Barat atau Minangkabau adalah tanah ulayat milik kaum atau suku yang semestinya berkedudukan sebagai kekayaan suku atau kaum malah dijadikan sebagai sumber kekayaan pribadi oleh penghulu kaum atau suku, dan tanah ulayat pada tingkat nagari justru dipergunakan bukan untuk kepentingan nagari, tetapi dijual oleh Kerapatan Adat Nagari sebagai lembaga adat dan pemerintahan nagari.

2)Sengketa tanah waris merupakan sengketa yang muncul karena adanya perbedaan pandangan atau pendapat mengenai tanah yang berasal dari warisan.

3)Sengketa batas tanah, ialah perbedaan pendapat mengenai letak, batas, atau luas bidang tanah yang diakui oleh satu pihak. Contohnya: A mempunyai tanah dengan letak, batas, dan luas tertentu yang berbatasan langsung dengan tanah B, maka ada kemungkinan terjadi sengketa antara A dan B mengenai batas tanah dengan patokan atau titik tertentu. Adanya perbedaan pendapat atau pandangan ini tentu akan berpengaruh terhadap batas, letak, dan luasnya. Hal ini bisa saja disebabkan oleh adanya kekeliruan mengenai batas atau luas tanah tersebut.

Jumlah ketersediaan tanah atau tidak seimbang dengan kebutuhan manusia juga mengakibatkan timbulnya konflik pertanahan.[ Mudjiono, 2007, ‘Alternatif penyelesaian sengketa Pertanahan di Indonesia Melalui Revitalisasi Fungsi Badan Peradilan’, Ius Quia Iustum: Jurnal Hukum Nomor 3, Volume 14, Nomor 3 Tahun 2007, halaman 458.] Sengketa tanah bisa terjadi di mana saja di Indonesia termasuk di Sumatera Barat atau Minangkabau. Bentuk sengketanya pun berbeda-beda, namun secara umum sengketa yang timbul seperti tiga poin yang telah penulis sampaikan di atas.

Apabila terjadi di Sumatera Barat atau Minangkabau dan masalahnya tidak diajukan ke ranah hukum atau pengadilan, maka akan disampaikan kepada niniak mamak. Niniak mamak selaku pemimpin informal memiliki peranan penting dalam menyelesaikan masalah atau sengketa yang dihadapi oleh anak kemenakannya termasuk sengketa tanah, baik mengenai penguasaan tanah tanpa hak maupun sengketa batas.

Orang Minang meyakini bahwa tidak ada masalah berat yang tidak dapat diselesaikan dan niniak mamak selaku pemangku adat diberi peranan penting dengan dijadikan sebagai hakim untuk menyelesaikan perselisihan yang sedang dihadapi kemenakannya. Hal ini sesuai dengan kaidah adat di Minangkabau yang mengatakan: “kusuik manyalasaikan, karuah manjaniahkan, luruih bana dipagang taguah, tibo di mato indak dipiciangkan, tibo diparuik indak dikampihkan”, artinya adat memberikan peranan penting kepada niniak mamak untuk menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi oleh kaum atau kemenakan dengan berpegang kepada kebenaran dan keadilan.

Minangkabau mengenal tiga tingkatan perselisihan sebagaimana yang termuat dalam kaidah adat yang berbunyi: “kusuik bulu ayam jo paruah manyalasaikan, kusuik banang dicari ujungnyo untuk manyalasaikan, kusuik sarang tampuo parun jo api mako salasai”. Kaidah ini memberikan pemahaman bahwa perselisihan antara kerabat diselesaikan oleh anggota kerabat itu atau perselisihan yang kecil atau sederhana dapat diselesaikan oleh mereka yang sedang berselisih atau berkonflik tanpa harus melibatkan orang lain dalam penyelesaiannya, perselisihan antar dua kelompok yang disebabkan oleh hal tertentu, maka dicari penyebabnya dan solusi atas permasalahan itu, sedangkan perselisihan yang disebabkan sesuatu yang sulit dicari penyebabnya, maka diperlukan tindakan luar biasa untuk memecahkannya atau mengakhiri sengketa tersebut.

Segala masalah yang atau konflik yang terjadi di masyarakat dalam perspektif hukum adat, maka hal itu dapat diselesaikan dengan cara musyawarah mufakat dengan mengedepan nilai-nilai keadilan, sehingga sengketa atau konflik dalam dengan baik untuk dikendalikan. Hukum adat Minangkabau meletakkan kebenaran pada tingkat yang lebih tinggi dalam menyelesaikan konflik hukum dengan menempatkan pemangku adat sebagai pelaksana dari kebenaran dengan mengedepankan atau memposisikan musyawarah mufakat: kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo ka panghulu, panghulu barajo ka mufakat, mufakat barajo ka alue, alue barajo ka nan patuik dan mungkin barajo ka nan bana”.[ Welda Ningsih dkk., 2013, ‘Konflik Tanah Ulayat Antara Kamanakan Malakok Vs Niniak Mamak Suku Tobo di Nagari Padang Laweh, Kecamatan Koto VII, Kabupaten Sijunjug’, Mamangan: Jurnal Ilmu Sosial, Volume II, Nomor 1 Tahun 2013, halaman 54.] Hal ini memberikan gambaran bahwa niniak mamak selaku pemangku adat lebih mengedepankan musyawarah mufakat dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi kemenakannya daripada melakukan atau menempuh cara lain. Bagi mereka cara ini lebih efektif dalam menyelesaikan konflik di antara kemenakan mereka karena berpedoman pada kaidah “kusuik bulu ayam jo paruah manyalasaikan, kusuik banang dicari ujungnyo untuk manyalasaikan, ....”

Niniak mamak dalam menyelesaikan sengketa tanah antara kemenakan akan menempuh tahapan sebagai berikut[ Nurjanah, dan Annisa S. Ningsih. "Mediasi dalam Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat oleh Ninik-mamak Desa Pulau Jambu Kecamatan Kuok Kabupaten Kampar Provinsi Riau." Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau, vol. 1, no. 1, Feb. 2014.]:

1)Adanya pengaduan dari kemenakan.

Tahapan ini merupakan tahapan awal dalam menyelesaikan sengketa yang sedang dihadapi oleh kemenakan karena tanpa tahapan ini niniak mamak tidak akan mengetahui sengketa antara kemenakannya. Tahapan ini dilakukan di mana pihak yang merasa dirugikan hak-haknya akan melaporkan tentang sengketanya dengan menyampaikan duduk perkara yang terjadi sekaligus meminta bantuan untuk menyelesaikannya. Tahapan pengaduan ini berfungsi agar niniak mamak mengetahui sengketa mereka.

2)Pemanggilan pihak yang bersengketa.

Setelah niniak mamak mengetahui sengketa mereka dengan mendapatkan laporan dari kemenakan yang merasa dirugikan haknya atas tanah, maka niniak mamak akan melakukan pendekatan agar pihak yang bersengketa dapat dengan nyaman berkomunikasi dengan niniak mamak dengan tujuan agar mereka dapat dibujuk untuk menyelesaikan sengketa dengan damai atau melalui musyawarah mufakat.

3)Pemanggilan saksi.

Pemanggilan saksi ini bertujuan untuk membuktikan atau menguatkan keterangan masing-masing kemenakan yang bersengketa. Saksi di sini tentu saksi sejarah yang mengetahui tentang batas tanah atau asal usul yang disengketakan. Dalam masyarakat modern yang telah memiliki sertifikat tanah atau sertifikat jual beli, menurut penulis hal itu dapat pula dijadikan sebagai bukti di samping saksi sebagaimana diuraikan di atas.

4)Menelaah atau mengidentifikasi kepentingan.

Hal ini bertujuan untuk mengetahui dan mengindentifikasi pokok masalah sengketa yang sebenarnya sehingga dengan mengetahui pokok sengketa, maka niniak mamak lebih mudah dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi. Tanpa mengetahui pokok masalah, penulis meyakini sulit menemukan solusi terhadap sengketa yang dihadapi kemenakannya. Kaidah “kusuik banang dicari ujungnyo untuk manyalasaikan” tentu sangat berguna dalam tahapan ini atau rasanya tidak berlebihan apabila dikatakan menemukan pokok masalahnya adalah separuh dari penyelesaian sengketa. Tahapan ini dapat dimulai dengan pembukaan oleh niniak mamak sebagai pihak penengah, menyamakan pemahaman, mengidentifikasi opsi-opsi atau pilihan penyelesaian dari kemenakan selaku pihak yang bersengketa, penentuan opsi yang dipilih, dan akhirnya melahirkan kesepakatan. Pada tahapan ini tidak hanya menitikberatkan pada aspek hukum, tetapi tidak menutup kemungkinan dilakukan negosiasi sepanjang tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku.

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik ingin meneliti apa sumber pengetahuan yang digunakan oleh niniak mamak dalam menyelesaikan sengketa yang dihadapi oleh kemenakannya dan apa model penalaran yang dipakai oleh niniak dalam menyelesaikan persoalan itu.

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan melakukan studi kepustakaan, yaitu kegiatan untuk menghimpun informasi yang relevan dengan topik atau masalah yang menjadi objek penelitian. Informasi tersebut dapat diperoleh dari buku-buku, karya ilmiah, ensiklopedia, internet, dan sumber-sumber lain yang relevan.

Isi dan Pembahasan

1.Sumber Pengetahuan yang digunakan oleh Niniak Mamak dalam menyelesaikan sengketa Tanah antara Kemenakan

Epistimologi merupakan salah satu cabang ilmu filsafat yang menyelidiki asal, sifat, metode dan batasan pengetahuan manusia.[ Aceng Rahmat, 2013, Filsafat Ilmu Lanjutan, Kencana, Jakarta, Hal. 147] Epistimologi berasal dari kata episteme, yang berarti: Pengetahuan, dan logos yang artinya kajian atau pikiran. Apabila dua kata tersebut dihubungkan, maka epistimologi adalah ilmu yang mengkaji tentang pengetahuan atau cara, strategi untuk memperoleh pengetahuan.[ Lukman Hakim, 2020, Filsafat Ilmu dan Logika: Dialektika Perubahan, Cetakan I, Lakeisha, Jawa Tengah, Halaman 12.] Epistimologi berusaha untuk menjawab pertanyaan bagaimana (how to) atau bagaimana kita mengetahui sesuatu dan ukuran-ukuran kebenaran. Misalnya bagaimana seseorang dapat mengetahui air laut itu asin, gula itu manis, atau air mendidih itu panas, maka diperlukan sumber untuk mengetahuinya. Caranya adalah dengan menggunakan instrumen yang ada pada manusia.

Seseorang memperoleh pengetahuan untuk menjawab berbagai pertanyaan setidak-tidaknya menggunakan tiga instrumen, yaitu: rasio, empiri, dan intuisi. Rasio dikenal dengan istilah akal, dan pengetahuan yang rasional maksudnya pengetahuan yang dapat diterima oleh akal atau masuk akal, sehingga untuk merumuskan pengetahuan seseorang akan menggunakan akalnya dengan cukup menggunakan sistematika pikiran yang logis selama dapat diterima oleh orang lain. Misalnya kita mengetahui air mendidih itu panas karena suhunya 100 derajat celcius. Landasan rasionalitas manusia adalah pengetahuan matematis, sistematis dan logis. Rasio memiliki sisi tersendiri yang menuntut alasan yang masuk akal juga. Misalnya seseorang mengatakan bahwa Kota Jakarta itu macet padahal ternyata ia tidak pernah pergi dan melihat sendiri kondisi kemacetan di Jakarta. Dalam hal ini seseorang dapat memberikan alasan yang logis meskipun tidak melihat secara langsung kondisinya. Sedangkan empiri berasal dari pengalaman, yaitu pengetahuan yang diperoleh dengan bukti yang dialami oleh pancaindera, baik dilihat, diraba, dirasa, didengar atau dihirup, maka itulah yang dianggap pengetahuan empiris. Contohnya kita mengetahui garam itu asin atau gula manis karena kita pernah merasakan atau mengecap dengan lidah. Intuisi juga merupakan pengetahuan langsung. Kemampuan ini lahir dengan spontan dan alamiah serta tidak perlu meruntut logika dan pengetahuan empiris. Pengetahuan ini karena tidak lahir secara alamiah dan spontan, maka pengetahuan ini dapat berdasarkan spekulasi maupun inspirasi.[ Ibid.]

Menurut Akyar Yusuf Lubis dengan menyimpulkan pandangan Hosper dan Honderich, ia menyatakan bahwa pengetahuan itu bersumber dari[ Akhyar Yusuf Lubis, 2019, Filsafat Ilmu: Klasik Hingga Kontemporer, Cetakan 6, Rajagrapindo Persada, Depok, Halaman 35-41]:

1.Perception (persepsi/pengamatan inderawi. Pendapat ini sama dengan sumber pengetahuan berupa empiri atau pengalaman sebagaimana yang diuraikan di atas.

2.Memory (ingatan), artinya pengalaman yang dialami seseorang baik secara langsung maupun tidak langsung harus didukung oleh ingatan agar pengalaman yang diperoleh dapat disusun secara logis dan sistematis.

3.Reason (Akal atau nalar). Penalaran merupakan hal yang paling mendasar  bagi kemungkinan adanya pengetahuan. Penalaran adalah proses memperoleh pengetahuan yang dilalui dengan menarik kesimpulan.

4.Intropection (Intropeksi), sumber ini digunakan untuk menilai sesuatu dengan mencoba ke dalam diri sendiri.

5.Intuition (Intuisi), yaitu memperoleh pengetahuan dengan tenaga rohani. Intuisi indrawi muncul sebagai pengamatan atau pengalaman.

6.Authority (otoritas), yaitu memperoleh sumber pengetahuan kepada individu atau kelompok yang dianggap memiliki sahih dan legitimasi sebagai sumber pengetahuan.

7.Precognition (Prakognisi), yaitu kemampuan mengetahui suatu peristiwa yang akan terjadi.

8.Clairvoyance, kemampuan mengetahui suatu peristiwa tanpa menggunakan indera. Contohnya ahli nujum yang dapat mengetahui barang yang hilang meskipun ia tidak melihat secara langsung.

9.Telephaty (telepati), yaitu sumber pengetahuan dengan membaca pikiran seseorang. Dalam hal yang digunakan adalah kemampuan mental bukan berkomunikasi dengan suara.

Penulis sepakat mengenai sebagian sumber pengetahuan sebagaimana yang diuraikan di atas dan tidak sepakat atas beberapa sumber pengetahuan lainnya. Penulis tidak keberatan pengalaman, akal atau nalar, dan ingatan dijadikan sebagai sumber pengetahuan. Namun, penulis tidak sepakat otoritas dengan berpedoman pada individu atau kelompok yang tingkat pengetahuannya sahih dan telah memiliki legitimasi dijadikan sebagai sumber pengetahuan karena nilainya relatif dan kebenarannya perlu diuji lagi meskipun setiap sumber pengetahuan itu harus diuji kebenarannya apakah merupakan sumber pengetahuan yang benar atau tidak. Sumber ini dapat saja dijadikan sebagai sumber dalam pengetahuan, namun tingkat atau level sumbernya sangat rendah dan biasanya digunakan oleh orang yang tingkat pendidikannya lebih rendah dan menjadikan orang yang berada ditingkat pendidikan lebih tinggi sebagai patokan atau sumber pengetahuan meskipun tidak dapat dipungkiri oleh sebagian orang dalam anggota kelompok masyarakat hal ini dijadikan sebagai sumber pengetahuan.

Intropeksi yang menilai pada diri sendiri menurut penulis juga kurang tepat dijadikan sebagai sumber pengetahuan karena metode ini lebih cenderung untuk mengedepankan rasa dan kurang berpijak pada unsur rasional. Metode ini mungkin dapat digunakan dalam etika pergaulan sehari-hari dan dijadikan sumber dalam bergaul. Namun, metode ini tidak berlaku umum karena tingkat ketepatannya bisa saja mencapai kebenaran atau bertolak belakang dengan kebenaran. Begitu pula dengan prakognisi, clairvoyance, dan telepati, ketiga sumber ini kebenarannya masih belum dapat diuji meskipun dalam praktiknya pernah ditemukan kebenaran dengan menggunakan ketiga sumber ini.

Bagi masyarakat Minangkabau alam merupakan sumber pengalaman dan pengetahuan. Hal ini dapat dilihat dengan falsafat adat “alam takambang jadi guru”. Hal ini menunjukkan bahwa bagi orang minangkabau alam adalah segala-galanya. Alam adalah tempat lahir dan mati manusia, dan alam juga merupakan tempat hidup dan berkembang. Hal ini menggambarkan bahwa alam merupakan sumber pengetahuan utama.

Niniak mamak dalam menyelesaikan sengketa tanah di antara kemenakannya juga menggunakan pengalaman sebagai sumber pengetahuan. Di samping menggunakan pengalaman niniak mamak juga menggunakan penalaran dan ingatan dalam menyelesaikan masalah sengketa tanah.

Pengalaman yang dimaksud di sini adalah pengalaman niniak mamak dalam menyelesaikan sengketa sebelumnya. Hal ini mereka gunakan dengan berdasar pada pengamatan inderawi. Adanya kecenderungan menyelesaikan masalah secara musyawarah untuk mufakat dan keterikatan dengan kaidah “biduak lalu kiambang batauik”, artinya meskipun niniak mamak menyelesaikan sengketa yang ada, namun mereka akan berupaya hubungan baik tetap terjaga dan sengketa tidak menjadi hambatan untuk tetap membina hubungan kekeluargaan dan hubungan bakorong bakampuang, sehingga meskipun ada niniak mamak yang menggunakan penalaran dalam menyelesaikannya, namun kekhawatiran akan menimbulkan masalah baru apabila fungsi niniak mamak hanya menggunakan fungsi memutus tanpa melakukan pendekatan musyawarah mufakat. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa niniak mamak menjadikan pengalaman yang diikuti ingatan sebagai sumber pengetahuan dalam menyelesaikan kasus sengketa tanah antara kemenakannya.

Meskipun pengalaman atau 

Namun, menurut penulis niniak mamak harus mulai berupaya untuk menggunakan sumber pengetahuan lain agar tidak hanya menjadikan pengalaman sebagai sumber pengetahuan. Penulis mengakui pengalaman sangat penting sebagaimana kata pepatah alam takambang dapat dijadikan guru, tetapi tentunya menutup mata atas sebagian sumber lain yang relevan juga kurang tepat.

2.Model Penalaran Yang Dipakai Oleh Niniak Dalam Menyelesaikan Kasus Sengketa Tanah

Secara umum model penalaran dalam dunia ilmiah ada dua, yaitu: penalaran induksi dan deduksi. Namun, ada beberapa penalaran, di antaranya: penalaran induksi, deduksi, abduksi, dialetika, dan lain-lain.[ Akhyar Yusuf Lubis, Op.Cit, Hal. 41-46]

Model penalaran di atas akan dijelaskan sebagai berikut:

a)Induksi, yaitu proses penalaran atau penarikan kesimpulan dimana benar tidaknya pernyataan ditentukan oleh pengalaman. Misalnya seseorang berdasarkan pengalaman yang diperolehnya melihat setiap gagak yang ia temukan berwarna hitam, lalu ia menarik kesimpulan dengan menyatakan bahwa semua gagak berwarna hitam.

b)Deduksi, yaitu penalaran yang bertolak dari sesuatu yang bersifat umum dan dirumuskan ke dalam kesimpulan yang bersifat khusus.  Contohnya: jika janin adalah manusia (P), maka aborsi adalah pembunuhan, maka janin adalah manusia dan aborsi adalah pembunuhan.

c)Abduksi, yaitu proses penalaran berdasarkan silogisme. Pembuktian ini berbeda dengan induktif dan deduktif karena sifat pembuktiannya lebih lemah. Contohnya seseorang selalu mengendarai mobil dengan sangat cepat saat ia mabuk, lalu kita menemukan suatu hari ia mengendarai mobil dengan sangat kencang dan kita berkesimpulan bahwa ia sedang mabuk. Kesimpulan ini tidak menutup kemungkinan ia benar sedang mabuk, namun tidak menutup kemungkinan pula bahwa ia bukan sedang mabuk, namun sedang terburu-buru. Hal ini menunjukkan bahwa penalaran dengan metode ini masih menghasilkan sebuah kemungkinan, bukan kepastian atau mengarah pada kebenaran.

d)Dialetika, yaitu metode penarikan kesimpulan dengan menggunakan dialog. Melalui dialog ini akan diperoleh atau diungkapkan kekurangan atau ketidakbenaran pengetahuan, sehingga dapat dirumuskan suatu kebenaran.

Penulis berpendapat bahwa dari empat metode penalaran hanya metode abduksi yang kurang tepat dijadikan sebagai metode dalam penalaran karena metode ini hanya menghasilkan kemungkinan atau prasangka sehingga kebenarannya masih perlu diuji lagi.

Menurut Febri Yulika, pola pikir orang minangkabau digambarkan dalam pepatah:

“rumah basandi batu, adat basandi alue jo patuik, mamakai anggo jo tanggo, sarato raso jo pareso”, maka berdasarkan pepatah tersebut ada empat landasan filosofis bagi masyarakat minang kabau:[ Febri Yulika, 2017, Epistimologi Minangkabau: Makna Pengetahuan dan Filsafat Adat Minangkabau, Institut Seni Indonesia Padang Panjang, Padang Panjang, Hal. 36-46]

1)Berpikir harus berdasarkan alur dan patut, artinya harus sesuai dengan prosedur dan tata cara yang telah ditetapkan oleh adat dan disesuaikan pula dengan kepatutan. Hal ini sesuai dengan pepatah adat yang mengatakan: “bajanjang naik, batanggo turun, mangaji dari alif, babilang dari aso”. Niniak mamak sebelum mengambil keputusan adat yang akan ditetapkan, maka harus disampaikan prosedur yang telah ditempuh, memeriksa dengan cermat dan teliti atas putusan yang akan diambil agar putusan saiyo sakato (mufakat) tercapai. Niniak mamak juga harus meneliti setiap permasalahan agar tidak menimbulkan silang sengketa dan perseteruan dalam masyarakat karena bisa jadi masalah tersebut benar secara alur, namun tidak patut.

2)Anggaran dasar dan rumah tangga (anggo jo tanggo)

Anggo merupakan ketentuan pokok atau dalam istilah umum dikenal dengan anggaran dasar, sedangkan tanggo adalah aturan pelaksanaan atau biasa disebut anggaran rumah tangga. Alua jo patuik pedomannya harus bersandar pada anggo jo tanggo.

3)Hati dan akal (raso jo pareso)

Raso dapat berbentuk malu, takut, senang, atau bahagia. Raso tumbuh dalam hati atau dada seseorang meskipun sebenarnya rasa itu ada pada otak kecil seseorang. Pareso (periksa) merupakan meneliti sesuatu dengan teliti agar keadaan yang sebenarnya diketahui. Pareso memerlukan analisis dan pemikiran sehingga ada pepatah yang mengatakan pareso tumbuah di kapalo.

4)Musyawarah mufakat

Segala keputusan yang akan dilaksanakan merupakan kesepakatan atau persetujuan bersama melalui permusyawaratan menurut alur dan patut. Hal ini merupakan bentuk dialetika yang masih hidup di tengah masyarakat minangkabau.

Alur berpikir dengan metode ilmiah dapat dilakukan dengan langkah-langkah yang terdiri dari: perumusan masalah, penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis, perumusan hipotesis, pengujian hipotesis, dan penarikan kesimpulan.[ Jujun S. Suriasumantri, 2010, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Cetakan ke-20, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, Hal. 128] Alur berpikir di atas memberikan pemahaman kepada kita bahwa berpikir untuk memperoleh sebuah kesimpulan harus dimulai dengan perumusan masalah yang merupakan pertanyaan mengenai objek empiris, hingga pada akhirnya dilahirkan kesimpulan atas sebuah permasalahan.

Berdasarkan metode penalaran di atas, menurut penulis meskipun metode-metode penalaran yang telah disampaikan di atas digunakan oleh niniak mamak dalam menyelesaikan sengketa tanah antara kemenakan. Namun, umumnya metode yang digunakan adalah metode penalaran dialetika dengan menggunakan metode dialog.

Kemenakan yang sedang bersengketa diminta untuk menyampaikan permasalahan yang dilaporkannya dan sekaligus diminta pendapatnya, dan pihak yang menjadi lawan dalam sengketa tersebut juga diminta pendapatnya agar niniak mamak dapat menjumpai titik temu atas sengketa tersebut dan akhirnya lahir kesepakatan melalui musyawarah mufakat. Metode berpikir digunakan oleh niniak mamak tetap memperhatikan alur dan patut, anggo jo tanggo, raso jo pareso, dan musyawarah mufakat.

Namun, kritik yang harus disampaikan bahwa niniak mamak harus mulai menggunakan metode penalaran lain dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi kemenakan termasuk sengketa tanah seperti yang disampaikan di atas karena hari ke hari masalah yang dihadapi akan semakin beragam dan diperlukan pula penanganan dengan cara lain, sehingga ke depan peran niniak mamak bisa jadi berkembang menjadi penengah yang memmbuat keputusan dan tidak sebatas dengan jalan dialog. Tetapi, musyawarah mufakat harus juga dipertahankan karena ini merupakan ciri khas masyarakat kita dan solusi atau jalan lain hanya sedapat mungkin ditempuh apabila musyawarah mufakat tidak tercapai.

Kesimpulan

1.Niniak mamak dalam menyelesaikan sengketa tanah di antara kemenakannya juga menggunakan pengalaman sebagai sumber pengetahuan. Di samping menggunakan pengalaman niniak mamak juga menggunakan penalaran dan ingatan dalam menyelesaikan masalah sengketa tanah. Pengalaman yang dimaksud di sini adalah pengalaman niniak mamak dalam menyelesaikan sengketa sebelumnya.

2.Niniak mamak dalam menyelesaikan sengketa tanah antara kemenakan menggunakan metode penalaran dialetika dengan menggunakan atau mengedepan metode dialog.


Daftar Pustaka

Hakim, Lukman, 2020, Filsafat Ilmu dan Logika: Dialektika Perubahan, Cetakan I, Lakeisha, Jawa Tengah.

Lembang, Prisia. 2018. ‘Peranan Tokoh Masyarakat Dalam Penanganan Masalah Sengketa Tanah di Desa Sulu Kecamatan Tatapaan Kabupaten Minahasa Selatan’, Holistik: Journal Social and Cultural Anthropology, Volume X, Nomor 21A/Januari-Juni 2018.

Mudjiono, 2007, ‘Alternatif penyelesaian sengketa Pertanahan di Indonesia Melalui Revitalisasi Fungsi Badan Peradilan’, Ius Quia Iustum: Jurnal Hukum Nomor 3, Volume 14, Nomor 3 Tahun 2007

Ningsih dkk., Welda, 2013, ‘Konflik Tanah Ulayat Antara Kamanakan Malakok Vs Niniak Mamak Suku Tobo di Nagari Padang Laweh, Kecamatan Koto VII, Kabupaten Sijunjug’, Mamangan: Jurnal Ilmu Sosial, Volume II, Nomor 1 Tahun 2013.

Nurjanah, dan Annisa S. Ningsih. "Mediasi dalam Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat oleh Ninik-mamak Desa Pulau Jambu Kecamatan Kuok Kabupaten Kampar Provinsi Riau." Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau, vol. 1, no. 1, Feb. 2014.

Rahmat, Aceng. 2013, Filsafat Ilmu Lanjutan, Kencana, Jakarta.

Suriasumantri, Jujun S., 2010, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Cetakan ke-20, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta

Yulika, Febri, 2017, Epistimologi Minangkabau: Makna Pengetahuan dan Filsafat Adat Minangkabau, Institut Seni Indonesia Padang Panjang, Padang Panjang.

Yusuf Lubis, Akhyar, 2019, Filsafat Ilmu: Klasik Hingga Kontemporer, Cetakan 6, Rajagrapindo Persada, Depok.

Spesial Untuk Anda:

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar